Mohon tunggu...
Alfonsus Hirland
Alfonsus Hirland Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Prodi Ilmu Komunikasi, Angkatan 2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Protokol Kesehatan dan Fenomena "Kerumunan": Memantik Persepsi Paradoksial

29 September 2020   22:36 Diperbarui: 30 September 2020   00:18 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.sirclo.com/file/2020/03/Strategi-Mempertahankan-Bisnis-di-Tengah-Pandemi-COVID-19.jpg


Catatan awal

Sejak Maret 2020 lalu, kasus Covid-19 di Indonesia semakin bertambah; tidak pernah ada kabar baik tentang penurunan kasus. Kalupun ada pemberitaan tentang beberapa daerah yang diklaim 'zona hijau', tetapi itu kemudian tidak bertahan lama. Kasus Covid-19 menjadi sesuatau yang tak terelakan di setiap daerah di Indonesia. 

Keadaan ini menjadi semakin carut-marut, ketika banyak orang atau oknum tertentu yang mengabaikan dan atau tidak menghiraukan keberadaan Covid-19 di tengah pergumulan sosial. Maka, berbagai strategi dikeluarkan pemerintah, untuk membatasi penyeberan kasus Covid-19 ini. 

Publikasi tentang protokol kesehatan, pelaksanaan sistem lockdown di berbagai daerah, dan sampai pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), telah dengan semaksimal mungkin ditegaskan oleh pemerintah, untuk direalisasikan oleh masyarakat. Tentu, ini merupakan sebuah polemik yang cukup krusial, dan membutuhkan penanganan yang serius dan berkala.

Namun, sebelum lebih jauh membahas tentang kasus Covid-19, sebenarnya penulis hendak berfokus pada persepsi yang kemudian muncul, ketika berhadapan atau melihat gambar/ilustrasi tentang seseorang yang mematuhi salah satu protokol kesehatan (menggunakan masker), tetapi juga sedang berada di tengah kerumunan orang-orang lain (sebagaimana gambar yang ditampilkan di muka). Hemat penulis, ada beberapa persepsi yang bisa saja muncul. 

Barangkali sebagian orang akan menganggap itu bukan sebuah persoalan; tetapi tidak menutup kemungkinan, ada juga orang yang akan beranggapan, bahwa itu adalah pemicu terhadap peningkatan kasus Covid-19. Ini persis terkait perihal yang sudah diterangkan penulis di awal, bahwasannya ada kontradiksi atau sebuah paradoks dari strategi yang telah dicanangkan pemerintah.

Protolol Kesehatan dan Fenomena 'Kerumunan'

Sekita pertengahan Mei 2020 yang lalu, pemerintah telah mengeluarkan sebuah stragei baru dalam beradaptasi denga situasi pendemi, yaitu pemberlakuan New Normal atau pola hidup baru ditengah kasus Covid-19. 

Narasi yang dibangun adalah untuk mengatur segala hal terkait pencegahan Covid-19 untuk pekerja dan di tempat kerja, baik semasa pemberlakuan PSBB maupun pasca-PSBB (www.kompas.com- 27/05/2020). Tetapi, pemberlakuan New Normal ini tentu mematuhi berbagai ketentuan atau protokol kesehatan. 

Dengan demikian, New Normal dapat berjalan sebagaimana mestinya; berjalan efektif dan efisien. Hanya saja, meskipun pemberlakuan New Normal, dengan berbagai instruksi untuk mematuhi protokol Kesehatan telah berjalan, tetapi tetap saja kasus Covid-19 meningkat di Indonesia. Adakah yang salah dengan strategi ini?

Bukan hanya itu, ada beberapa peristiwa unik yang terjadi belakangan ini. Melalui berbagai media pemberitaan atau pun media sosial, penulis mendapati adanya beberapa kasus yang menyindir soal pemberlakuan New Normal, seperti kritik terhadap pemerintah, pembubaran atau pengusutan kasus terhadap sekelompok orang yang melakukan aktivitas dalam jumlah massa yang cukup banyak (entah seberapa banyak, ya.). 

Sebut saja, pembubaran massa demonstrasi di Solo bebrapa waktu yang lalu (www.regional.kompas.com -25/09/2020); pembubaran terhadap Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), di Surabaya (www.cnnindonesia.com -29/09/2020); dan pengusutan kasus konser di Tegal (www.regional.kompas.com -- 29/09/2020); atau video viral mahasiswa yang melakukan pembelajaran di Mall (www.suara.com -25/09/2020). 

Dari beberapa fakta ini, adalah sebuah keniscayaan bahwa tidak serta merta pemberlaukan New Normal menjadi strategi yang efisien untuk memulai pola hidup baru, yang mana mesti berdampingan dengan kasus Covid-19; even telah mematuhi protokol kesehatan. Ada banyak kontradiksi atau paradoks yang bermunculan dari strategi pemerintah tersebut. Lantas kita akan bertindak seperti apa?

Membaca Gambar dan Membangun Persepsi

Hemat penulis, terkait gambar yang ditampilkan di muka, sekurang-kurangnya hendak memberikan gambaran tentang carut-marut fenomena sosial masyarakat Indonesia di tengah kasus Covid-19.

Kita boleh saja mengklaim, bahwa berada di tengah kerumunan orang banyak tidak akan menjadi masalah, asalkan mengikuti dan mematuhi protokol kesehatan.

 Tetapi, di sisi lain, kita tidak mungkin bisa mengabaikan bahwa kerumunan tetap saja akan berpotensi terhadap penyeberan virus Covid-19; pertanyaannya, protokol kesehatan seperti apa yang mesti dijalankan agar bisa bebas beraktivitas di tengah kerumunan?

Samovar (2017: 203), menyebutkan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil refleksi atas nilai-nilai tertentu, yang didasarkan pada pada keyakinan-keyakinan yang sudah dibangunnya. Berangkat dari konsep Samovar tersebut, sekurang-kurangnya kita bisa membangun persepsi tertentu untuk kemudian bagaimana bersikap. 

Dalam konteks gambar di atas, persepsi setiap orang tidak bisa disalahkan begitu saja. Samovar (2017: 201), juga menjelaskan bahwa persepsi yang dibangun setiap orang mempunyai karakteristik yang sama, yakni selektif, dipelajari, ditentukan budaya, konsisten, dan sangat subjektif. 

Maka kemudian, persepsi apa pun yang dibangun atas gambar di atas, tentu bukan merupakan sebuah bentuk kegagalan berpikir atau bukan juga merupakan sebuah kebenaran yang absolut. Interpretasi atas protokol kesehatan dan fenomena kerumunan (yang sekurang-kurangnya terwakilkan oleh gambar di atas), barangkali akan sangat kontradiktif atau paradoksial.

Sehingga, melalui tulisan sederhana ini, penulis hendak menyampaikan bahwa kita sedang hidup dalam sebuah kultus sosial yang cukup runyam. Ketika kebudayaan yang kita miliki mengajarkan kita untuk selalu berinterkasi dan bergaul bersama orang lain, kita juga dihadapkan pada pilihan dilematis oleh karena adanya kasus Covid-19; apakah kita akan tetap berinteraksi dengan orang lain atau tidak? 

Maka perlu membangun persepsi yang kemudian mempertimbangkan juga kebudayaan atau kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungan masing-masing kita. Sabagaimana Samovar (2017: 201) menjelaskan, bahwa: "Persepsi bersifat selektif. Pola persepsi dipelajari dan, oleh karena itu, dipengaruhi oleh budaya seseorang." Dengan persepsi yang telah dibangun, setiap kita boleh menentukan sikap atau perilaku yang sekiranya tidak merugikan diri kita atau pun orang lain, khusunya di tengah kasus Covid-19 saat ini.

*Sebuah Catatan Reflektif di tengah Pandemi Covid-19.

#KABUAJY05

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun