Mohon tunggu...
Elje Story
Elje Story Mohon Tunggu... Penjaga Toko

Penjaga Toko yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Gereja Jago

25 April 2025   11:30 Diperbarui: 26 April 2025   07:49 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit sore itu berwarna jingga keemasan, seperti lukisan yang indah sulit untuk diabaikan. Jalanan kota terasa asing bagiku, meski ini bukan pertama kali hari libur pergi ke kota asing. Jumat Agung dan Paskah. Sebuah hari yang harusnya dilewati dengan tenang dan penuh makna --tapi kali ini tidak.

Hari itu aku menyelesaikan pekerjaan dalam kondisi tergesa dan lelah. Tangan masih terasa bau oli dan debu. Montor bebek yang sering mogok. “Harus ganti busi rasanya,” pikirku dalam hati sambil mengampelas ujung busi sebelum kupasang lagi.
Senja mulai semakin gelap, aku bertanya beberapa pemilik toko, mencari tahu apakah ada gereja di sekitar sini yang mengadakan ibadah sore. Seseorang menunjuk ke arah timur kota, ke sebuah gereja besar yang cukup ikonik  di kota ini.

Gereja itu berdiri anggun dengan menara tinggi dan sebuah tiang besi yang juga mata arah angin dengan gambar ayam jago di puncaknya. Aku tertegun sebentar melihatnya. Aku tahu simbol itu. Jago--lambang dari tiga kali penyangkalan Petrus sebelum ayam berkokok. Sebuah kisah yang terasa terlalu dekat dengan hidupku belakangan ini. “Penyangkalan ya…,” aku berbisik lirih sembari memparkirkan sepeda.


Saat melangkah ke pelataran gereja, sebuah mobil hitam berhenti. Seorang pemuda turun dengan pakaian rapi dan wangi. Beberapa jemaat segera menyambutnya dengan pelukan dan tawa kecil. Aku tersenyum melihat itu, lalu menoleh ke diri sendiri—baju kerja yang kusut, rambut lepek karena helm, dan sepatu berdebu. Ketika semakin dekat, tak ada sambutan hangat atau ramah yang kudapat. Hanya mata-mata yang dingin mengamati. Seseorang di dekat pintu memberiku selebaran liturgi, tapi tanpa senyum. Seorang ibu menarik tasnya sedikit menjauh ketika melihatku lewat.

Aku hanya bisa menarik napas panjang, mencoba tidak ambil hati. “Mereka gak salah... Aku memang kelihatan kayak orang nyasar.”

Ibadah dimulai.  Musik organ mengisi ruangan yang luas. Jemaat mulai berdiri, menyanyi, berdoa. Tapi aku sulit fokus. Firman Tuhan dibacakan, namun pikiran berkelana ke mana-mana. Tentang pekerjaan yang makin berat, tentang tagihan bulanan, tentang masalah di rumah yang seperti tak pernah usai.

"Aku gak bisa atasi semua masalah ini, apa semua pengorbanan dan kerja keras ini belum cukup baik dan tidak berarti? "Mungkin Tuhan juga lagi males dengerin doaku." Gumamku dalam hati.

Tiba-tiba, suasana berubah hening. Seorang remaja perempuan melangkah maju ke altar, membawa selembar kertas dan berdiri di depan mikrofon. Musik pelan mulai mengiringi.

"Belum pernah ada kasih di dunia
Sanggup menerima diriku apa adanya
Selain kasihMu, Yesus..."

Suara itu tak sempurna. Tapi justru di situlah keindahannya. Ada ketulusan yang menembus dinding hatiku yang retak. Mataku panas. Tenggorokannya tercekat. Lirik lagu itu seolah ditulis dan dinyayikan hanya untuknya.

"Sungguh tiada lagi kasih seperti ini
Sanggup mengubahkan hidupku menjadi baru
Selain kasihMu, Yesus..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun