Bayangkan, kamu sedang mengalami stres berat hingga sulit tidur. Pikiran berputar terus, badan terasa lelah, dan emosi meledak-ledak. Seorang teman menyarankan, “Kenapa nggak coba ke psikolog?”
Alih-alih merasa terbantu, sebagian orang justru tersinggung atau buru-buru menolak: “Aku nggak gila kok!”
Inilah potret nyata di Indonesia: ketika kesehatan mental masih dibicarakan setengah berbisik, dan pergi ke psikolog masih dianggap sebagai tanda kelemahan atau aib.
1. Sejarah Singkat: Dari Tabu ke Perbincangan Publik
Isu kesehatan mental sebenarnya bukan hal baru, namun di Indonesia, kesadaran terhadap hal ini baru mulai berkembang signifikan dalam 5–7 tahun terakhir, terutama sejak pandemi COVID-19. Lonjakan stres, kecemasan, dan depresi mendorong percakapan publik tentang pentingnya dukungan psikologis.
Meski begitu, transisi dari “tabu” menjadi “normal” berjalan sangat lambat. Di banyak keluarga, topik ini masih dihindari, dan pencarian bantuan profesional sering dilakukan secara diam-diam.
2. Akar Masalah: Kenapa Stigma Ini Kuat?
Banyak orang masih memandang psikolog hanya untuk “orang gila” atau penderita gangguan jiwa berat. Padahal, psikolog juga membantu masalah sehari-hari seperti manajemen stres, konflik keluarga, burnout kerja, hingga pengembangan potensi diri.
Dalam budaya kita, “kuat” sering diartikan sebagai kemampuan menanggung semua beban tanpa bantuan. Mengungkapkan kesulitan emosional dianggap lemah, apalagi pada orang yang tidak dikenal. Kurikulum sekolah jarang menyentuh literasi emosi dan keterampilan coping. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan kemampuan terbatas untuk mengenali kapan mereka membutuhkan pertolongan profesional.
3. Fakta yang Membuka Mata
Survei nasional Kemenkes 2023 menemukan bahwa 1 dari 5 orang Indonesia mengalami gangguan mental ringan hingga berat. Namun, hanya 9% yang mencari bantuan profesional. Sebagian besar memilih diam atau mengandalkan coping pribadi yang tidak selalu sehat mulai dari menekan emosi hingga melarikan diri ke media sosial atau kebiasaan konsumtif.
Data dari Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 7 psikolog klinis per 100.000 penduduk. Layanan di kota besar pun relatif mahal, membuat banyak orang enggan mencoba.
4. Langkah Mengubah Cara Pandang
Sama seperti memeriksa kesehatan fisik, pemeriksaan mental juga bagian dari perawatan diri. Edukasi publik yang konsisten seperti media, sekolah, dan komunitas perlu aktif meluruskan mitos seputar kesehatan mental. Adanya alternatif layanan psikologi daring (online counseling) dapat memangkas biaya dan mempermudah akses, terutama untuk daerah yang kekurangan tenaga profesional.
Malu pergi ke psikolog bukan hanya masalah individu, tapi masalah budaya dan struktural. Selama stigma ini bertahan, banyak orang akan terus menahan beban yang seharusnya bisa dibantu. Pergi ke psikolog bukan tanda kegagalan justru tanda bahwa kita cukup berani untuk menjaga diri.
Quote: “Merawat pikiran adalah bentuk tertinggi dari menghargai hidup kita sendiri.”
penulis: Elizabeth Riendra Cahaya Nurani
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI