Mohon tunggu...
Elizabeth Riendra Cahaya
Elizabeth Riendra Cahaya Mohon Tunggu... Mahasiswi Ilmu Komunikasi USM Semarang

Hai, saya Elizabeth Riendra Cahaya Nurani! Saya adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi USM Semarang. Saya suka menulis tentang topik-topik yang menarik bagi saya, seperti komunikasi, media, dan isu-isu sosial. Menulis artikel membantu saya untuk berbagi pengetahuan dan ide dengan orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kenapa Kita Masih Malu Pergi ke Psikolog?

11 Agustus 2025   23:17 Diperbarui: 11 Agustus 2025   23:16 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bayangkan, kamu sedang mengalami stres berat hingga sulit tidur. Pikiran berputar terus, badan terasa lelah, dan emosi meledak-ledak. Seorang teman menyarankan, “Kenapa nggak coba ke psikolog?”
Alih-alih merasa terbantu, sebagian orang justru tersinggung atau buru-buru menolak: “Aku nggak gila kok!”

Inilah potret nyata di Indonesia: ketika kesehatan mental masih dibicarakan setengah berbisik, dan pergi ke psikolog masih dianggap sebagai tanda kelemahan atau aib.

1. Sejarah Singkat: Dari Tabu ke Perbincangan Publik

Isu kesehatan mental sebenarnya bukan hal baru, namun di Indonesia, kesadaran terhadap hal ini baru mulai berkembang signifikan dalam 5–7 tahun terakhir, terutama sejak pandemi COVID-19. Lonjakan stres, kecemasan, dan depresi mendorong percakapan publik tentang pentingnya dukungan psikologis.

Meski begitu, transisi dari “tabu” menjadi “normal” berjalan sangat lambat. Di banyak keluarga, topik ini masih dihindari, dan pencarian bantuan profesional sering dilakukan secara diam-diam.

2. Akar Masalah: Kenapa Stigma Ini Kuat?

Banyak orang masih memandang psikolog hanya untuk “orang gila” atau penderita gangguan jiwa berat. Padahal, psikolog juga membantu masalah sehari-hari seperti manajemen stres, konflik keluarga, burnout kerja, hingga pengembangan potensi diri.


 Dalam budaya kita, “kuat” sering diartikan sebagai kemampuan menanggung semua beban tanpa bantuan. Mengungkapkan kesulitan emosional dianggap lemah, apalagi pada orang yang tidak dikenal. Kurikulum sekolah jarang menyentuh literasi emosi dan keterampilan coping. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan kemampuan terbatas untuk mengenali kapan mereka membutuhkan pertolongan profesional.


3. Fakta yang Membuka Mata

Survei nasional Kemenkes 2023 menemukan bahwa 1 dari 5 orang Indonesia mengalami gangguan mental ringan hingga berat. Namun, hanya 9% yang mencari bantuan profesional. Sebagian besar memilih diam atau mengandalkan coping pribadi yang tidak selalu sehat mulai dari menekan emosi hingga melarikan diri ke media sosial atau kebiasaan konsumtif. 

Data dari Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 7 psikolog klinis per 100.000 penduduk. Layanan di kota besar pun relatif mahal, membuat banyak orang enggan mencoba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun