Aku tertegun sejenak. Pemilik suara bas selembut itu ternyata si nomor punggung 12, dari pihak lawan. Dia jangkung dan tampan. Senyumnya ramah. Cuma Daniel lebih tampan. Oke, dua kali lebih tampan sebenarnya. Namun tetap saja aura cowok ini lebih hangat.
Kami jadi berkenalan. Dia yang lebih dulu mengangsurkan tangan. Dia juga menyalami Reta. Namun lebih sering menatap dan mengajakku bicara. Mungkin lima menit saja karena Daniel tiba-tiba menyela dan menarik jemariku. Aku kaget hingga tak sempat bereaksi. Nada suaranya kasar dan terdengar kesal.
Sejak itu, entah mengapa aku merasa seakan diawasi Daniel. Di kampus, di lapangan bahkan di rumah. Dia sering mengusik pembicaraanku dengan Rio, si nomor punggung 12. Saat itu kami sempat bertukar nomor telepon. Dia sering meneleponku. Makin hari wajah Daniel makin dingin dan sering terlihat kesal.
* * * * *
Dua minggu setelah insiden pertengkaran kami gara-gara Rio yang kelewat sering meneleponku, Mama menyuruhku memanggil Daniel untuk makan malam. Papa sedang dinas ke luar kota dan Evan, kakakku kuliah di Malang. Di rumah hanya ada aku, Mama, Daniel dan dua pembantu. Mama juga aneh. Sejak dulu berkeras agar aku lebih memerhatikan Daniel. Seakan berusaha mengakrabkan kami. Masa Mama sepikiran dengan Reta sih?Setiap aku menolak berakrab ria dengan Daniel, Mama akan melancarkan pelototan maut dan pidato panjang lebar tentang kebaikan Daniel dan betapa aku bersikap egois padanya. Yeah, siapa sih anaknya sebenarnya?
Setengah hati aku memasuki kamarnya. Aku berkali-kali memanggil Daniel, namun hanya kesunyian yang menyambutku. Nekat, aku mencari sosoknya ke sekeliling kamar. Sepi dan hening. Aku jadi penasaran mengamati isi kamarnya. Tanpa sengaja, aku menubruk sebuah buku sebesar notes kecil tergeletak di meja. Buku itu terbuka lebar.
Aku terpana. Ternyata buku itu diari. Lembar pertamanya bertulis “Dari Dilla untuk Daniel yang tersayang.” Lama aku bergulat dengan konflik batin. Namun akhirnya rasa penasaranku lebih membuncah.
Semakin membaca diari itu, aku makin merinding. Setiap lembarnya, Daniel seolah menggoreskan catatan penuh cinta pada seseorang bernama Dilla meski tak setiap hari dia mencurahkan perasaannya. Sepertinya hanya saat momen istimewa. Aku tersentak saat membaca kata-kata yang menggugah perasaanku.
“19 Juli 2008, Dilla, maafkan aku. Tidak seharusnya aku memaksamu pergi menemui kejutan untukmu. Aku ingin memberimu kado ultah yang spesial. Tapi ternyata itu justru melukaimu. Bahkan yang lebih buruk, menjauhkanmu dariku. Kamu seperti sosok asing, tidak ingin bersamaku lagi. Itu benar-benar menyiksaku. Aku tidak bisa memaafkan diriku. Sungguh, aku benar-benar menyesalinya. Lebih baik aku yang menggantikan deritamu.”
“23 Agustus 2008. Dilla, betapa ingin aku menghapus derita di wajahmu. Aku tidak tahan menyaksikan penderitaan dan sakit yang kamu rasakan. Bagaimana aku bisa memaafkan diriku?”
“25 September 2008, Syukurlah kamu baik-baik saja Dilla. Aku bahagia melihatmu tersenyum. Tiga bulan ini hatiku seperti mati rasa. Aku yang telah menyakitimu. Aku yang menyebabkan derita pada orang yang kusayang. Karena itu, tidak apa-apa bila kamu melupakanku. Aku akan selalu bersamamu.”