Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gulai Kambing untuk Ayah

12 Juli 2022   17:21 Diperbarui: 13 Juli 2022   12:53 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image:/www.shutterstock.com/th/image-vector/man-silhouette-profile-picture-vector-151265393

"Ning!"

Seruan itu membuatku mematikan kompor, mencuci tangan, lalu gegas menuju ruang tengah.

"Ya, Bu?"

"Nanti kalau gulai kambingnya sudah masak, jangan lupa sisihkan buat ayahmu, ya. Sekalian antar ke rumahnya."

Mendengar perintah ibu aku terdiam --- lebih tepatnya memilih diam.

"Bagaimanapun juga dia itu ayahmu, Ning. Yang mengukir jiwa ragamu. Jadi tidak ada salahnya kita mengalah. Apalagi ini masih suasana Idul Adha. Saat yang tepat untuk saling memaafkan." Ibu menegurku, seolah tahu apa yang tengah kupikirkan.


"Kukira kita sudah melakukannya sejak dulu, Bu. Mengalah. Bahkan porsi mengalah kita telah melebihi batas!" Kusambar kalimat ibu dengan suara meninggi.
Sontak ibu menatapku seraya menghela napas panjang.

Aku tahu ibu akan memberi wejangan lebih banyak lagi. Tapi aku sedang tidak punya napsu untuk berdebat. Terutama jika perdebatan itu membahas soal ayah. Pria yang rela meninggalkan istri dan anaknya demi wanita lain.

***
Aroma wangi gulai kambing merebak ke seluruh ruangan. Sebaskom besar tersaji di atas meja, sebaskom lainnyak kubiarkan tetap berada di atas kompor.

Kulihat ibu sudah duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan. Dandanannya rapi. Senyumnya terlihat manis dan sumringah.

"Ning, maafkan ibu, ya." Ibu berkata sembari menatapku tak berkedip.

"Soal apa?"

"Soal mengantar gulai kambing tadi."

"Oh, itu. Ning yang seharusnya minta maaf. Karena Ning tidak bisa memenuhi perintah ibu."

"Tidak apa-apa, Ning. Ibu bisa memakluminya."

Percakapan kami terhenti ketika terdengar bel rumah berdering.

"Biar Ning saja yang membukanya, Bu." Aku beranjak dari kursi lalu menyeret langkah menuju ruang depan. Dan, begitu daun pintu terkuak sontak aku berbalik badan.

Ayah.

Ia datang bersama istri mudanya.

***
Sungguh. Jika bukan karena menjaga perasaan ibu, ingin rasanya aku mengusir kedua orang yang amat kubenci itu dengan kalimat kasar. Mengusir sejauh-jauhnya agar mereka tidak mengusik kehidupan kami lagi.

"Masya Allah Mas Har, Dik Rini, apa kabar?" Ibu berjalan tergopoh dari ruang dalam menyongsong kedatangan mereka.

"Alhamdulillah, sehat-sehat Mbak Nur. Sampean gimana? Semoga sehat juga, ya. Oh, ya, terima kasih sudah mau mengundang kami untuk datang ke rumah ini." Perempuan muda di samping ayah mengulurkan tangan ke arah ibu. Dan, saat ia mengulurkan tangannya ke arahku, aku berpaling.

***
Ibu dan kedua tamunya menikmati hidangan gulai kambing tanpa kehadiranku. Aku memilih masuk ke dalam kamar, mengunci pintu rapat-rapat lalu duduk menghadap jendela yang terbuka.

Kubiarkan mata dan hati menjelajah birunya langit. Seraya mencari-cari jawaban atas beragam pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak.

Bagaimana bisa ibu bersikap sedemikian sabar terhadap ayah dan madunya? Tidakkah batinnya terluka karena ayah telah berbagi hati?

"Sejatinya tidak ada seorang perempuan pun di dunia ini yang rela dimadu, Ning. Tapi ketika hal itu menimpa ibu, tentu ibu harus ikhlas. Barangkali ini sudah menjadi suratan takdir." Suatu hari ibu pernah berkata demikian.

"Bukankah takdir masih bisa diubah, Bu?" Aku menatap jauh ke kedalaman mata ibu sebagai bentuk protes atas kepasrahannya.

"Cinta, Ning. Cinta-lah yang menjadi penyebab mengapa kita enggan mengubah takdir itu. Meski sebenarnya kalau mau, kita bisa." Ibu balas menatapku. 

Sesaat hening menguasai. Kami sama-sama terdiam.

Ketukan pada pintu membuatku bangkit dari lamunan panjang. Kupikir yang datang itu pastilah ibu.

Tapi ternyata dugaanku salah.

"Ning, ayah pamit pulang, ya. Terima kasih atas jamuan gulai kambingnya. Enak sekali. Ayah sampai tak bisa berhenti makan. Nambah terus."

Pria yang sejak dulu ingin sekali kumaafkan itu berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang dan matanya berbinar menatapku. Aku tidak menyahut, hanya mengangguk kecil sebagai respon bahwa aku 'sedikit peduli' padanya.

Sedikit peduli? Ah, aku menyesal telah melakukannya!

***
Ibu mengantar kedua tamunya hingga pintu pagar. Dan, baru kembali masuk ke dalam rumah ketika suami dan madunya itu menghilang dari pandangan.

Sementara aku masih berdiri di dekat jendela kamar. Sampai ibu datang menghampiri lalu menyampaikan sesuatu yang membuatku tertegun.

"Kau tahu, Ning? Ayahmu sebenarnya tidak boleh mengonsumsi daging kambing. Apalagi dalam porsi banyak."

"Lalu mengapa ibu menyuguhkannya?"

"Ibu sekadar ingin rahu, Ning. Apakah ayahmu masih mencintai ibu."

"Dan kesimpulannya?"

"Ayahmu ternyata masih mencintai ibu, Ning. Itulah sebab ia sama sekali tidak peduli pada penyakit yang dideritanya. Ia malah dengan senang hati makan gulai kambing itu."

"Ibu .... bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu pada diri ayah? Bagaimana jika penyakitnya semakin parah, atau --- oh, sepertinya aku harus menelepon ayah sekarang!" Rasa cemas membuatku berpikir yang tidak-tidak.

Agak lama ponselku berdering menunggu untuk diangkat. Itu pun, ketika terangkat yang bicara adalah istri muda ayah.

"Ning, ayahmu! Kami sudah berusaha melarikannya ke rumah sakit!"

Kukira aku tidak perlu bertanya panjang lebar lagi soal kondisi ayah. Kumatikan ponsel lalu perlahan kakiku mendekati ibu.

"Apakah ibu percaya pada quote yang pernah ditulis oleh salah seorang sastrawan dunia? Bunuh dia, lalu peluk. Pria lebih setia saat ia mati."

Ibu mengangguk seraya mengulum senyum.

***
Malang, 12 Juli 2022
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun