***
Ibu dan kedua tamunya menikmati hidangan gulai kambing tanpa kehadiranku. Aku memilih masuk ke dalam kamar, mengunci pintu rapat-rapat lalu duduk menghadap jendela yang terbuka.
Kubiarkan mata dan hati menjelajah birunya langit. Seraya mencari-cari jawaban atas beragam pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak.
Bagaimana bisa ibu bersikap sedemikian sabar terhadap ayah dan madunya? Tidakkah batinnya terluka karena ayah telah berbagi hati?
"Sejatinya tidak ada seorang perempuan pun di dunia ini yang rela dimadu, Ning. Tapi ketika hal itu menimpa ibu, tentu ibu harus ikhlas. Barangkali ini sudah menjadi suratan takdir." Suatu hari ibu pernah berkata demikian.
"Bukankah takdir masih bisa diubah, Bu?" Aku menatap jauh ke kedalaman mata ibu sebagai bentuk protes atas kepasrahannya.
"Cinta, Ning. Cinta-lah yang menjadi penyebab mengapa kita enggan mengubah takdir itu. Meski sebenarnya kalau mau, kita bisa." Ibu balas menatapku.Â
Sesaat hening menguasai. Kami sama-sama terdiam.
Ketukan pada pintu membuatku bangkit dari lamunan panjang. Kupikir yang datang itu pastilah ibu.
Tapi ternyata dugaanku salah.
"Ning, ayah pamit pulang, ya. Terima kasih atas jamuan gulai kambingnya. Enak sekali. Ayah sampai tak bisa berhenti makan. Nambah terus."
Pria yang sejak dulu ingin sekali kumaafkan itu berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang dan matanya berbinar menatapku. Aku tidak menyahut, hanya mengangguk kecil sebagai respon bahwa aku 'sedikit peduli' padanya.