Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mandi Kembang Tengah Malam Ritual Pengusir Teluh?

13 Oktober 2020   06:23 Diperbarui: 13 Oktober 2020   06:33 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.hijabheels.com

"Mandi kembang tengah malam?" Saya mengernyit alis. 

"Iya! Itu salah satu cara untuk membadarkan teluh yang selalu dicoba dikirim kepadamu." Pak tua itu menatap saya tak berkedip. Kemudian ia berseru lantang memanggil istrinya.

"Bu! Kita masih punya merang ketan hitam, bukan? Lekas bawa ke sini! Berikan pada si Nduk ayu ini."

Terdengar langkah kaki diseret dari ruang dalam. Seorang perempuan setengah umur mendekat dan menyerahkan sesuatu kepada saya. 

"Bakar merang ketan hitam ini, ya, Nduk. Campurkan abunya ke dalam air mandimu bersama kembang setaman. Lalu minta Ibumu memandikanmu tepat pada weton kelahiranmu." Perempuan itu berbisik pelan di telinga saya. 

***

Saya tiba di rumah dalam keadaan lelah. Sangat lelah. Betapa teror aneh itu terus saja, tanpa henti mengganggu ketenangan hidup saya. 

Kapan semua ini akan berakhir?

Sungguh, saya bukan mengkhawatirkan diri sendiri. Melainkan anak-anak. Bagaimana perkembangan mental mereka jika keadaan seperti ini terus berlanjut?

Mereka selalu dilanda ketakutan setiap hari mulai gelap. Bagaimana tidak, kerap---secara tiba-tiba ketika baru terlelap tidur, terdengar suara gemerutuk seperti hujan pasir mengguyur atap rumah. Anak-anakpun terjaga, saling merapatkan tubuh dengan wajah takut dan cemas. 

"Suara apa itu, Ma?"

"Hanya suara dedaunan yang jatuh tertiup angin," saya berusaha menenangkan perasaan mereka.

Atau, pada tengah malam yang lain mendadak kami dikejutkan oleh suara seperti benda jatuh dari ketinggian. Bergedebum. Berulang-ulang.

Jika sudah begini mau tidak mau saya harus merayu anak-anak agar mereka mengabaikan suara apa pun yang mereka dengar. Dan, sebisa mungkin menyuruh mereka segera tidur kembali.

Jikalau pada akhirnya saya bersedia diantar bertemu "orang pintar" demi mengusir gangguan-gangguan aneh itu, barangkali itu adalah salah satu cara dari ikhtiar saya.

Baiklah. Saya menyetujui melakukan ritual mandi kembang di hari weton kelahiran. Seperti yang sudah disarankan.

***
Malam itu saya berangkat ke rumah Ibu sekitar pukul 12 ketika anak-anak sudah berangkat tidur. 

Ibu ternyata sudah menyiapkan semuanya. Sebuah tong besar penuh berisi air dan dingklik kecil untuk tempat duduk diletakkan di belakang rumah. Saya lantas menaburkan bunga setaman di atas tong berisi air itu beserta abu merang ketan yang sudah mendingin.

Di langit bulan tengah bersinar penuh. Mengantar malam yang tersenyum pekat. Saya mulai melepas pakaian satu persatu, siap melakukan ritual mandi kembang yang akan dipandu oleh Ibu.

Guyuran demi guyuran air perlahan menyentuh permukaan kulit saya. Mulai dari kepala hingga ujung kaki. Sesekali tubuh kurus saya bergetar kedinginan. Tapi itu tidak menjadikan Ibu berhenti menggerakkan gayung di tangannya. 

Malam kian meluruh. Ibu masih menuangkan air bercampur kembang seraya bibirnya yang keriput lirih melantunkan tembang.

Rumekso ing Wengi.

Ana kidung rumekso ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datan purun. Paneluhan tan ana wani. Niwah panggawe ala. Gunaning wong luput. Geni atemahan tirta. Maling adoh tan ana ngarah ing mami. Guna duduk pan sirna.

(Ada sebuah kidung (doa) permohonan di tengah malam. Semoga senantiasa kuat, selamat, terbebas dari segala penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setan enggan mendekat. Segala sihir pun tidak berani. Apalagi perbuatan jahat. Guna-guna segeralah tersingkir. Api menjadi air. Pencuri pergi menjauh. Segala marabahaya berlalu lenyap.)

Pada guyuran terakhir tanpa terasa air mata saya berjatuhan. Bukan karena ritual mandi kembang di tengah malam itu. Tapi lebih kepada rasa haru atas doa-doa Ibunda yang tiada henti terus mengalir.

***
Malang, 13 Oktober 2020
Lilik Fatimah Azzahra

Note: merang=batang padi yang sudah kering

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun