Kutuliskan kisah ini. Tentang kami. Aku dan Lidia.
Baiklah, kuperkenalkan diri dulu. Namaku Fatimah. Usiaku setengah baya. Bertubuh kurus. Berambut lurus. Dan baru saja memutuskan pindah rumah dari sebuah kota kecil ke pedesaan terpencil yang terletak di lereng bukit.
Sementara Lidia, usianya lebih muda dariku. Wajahnya manis. Rambutnya keriting. Berkacamata minus.
Kami dipertemukan oleh senja. Suatu hari. Ketika langit sedang murung.
Akulah yang pertama kali melihat dia. Perempuan itu, ia sedang mengejar seekor kucing yang berlari kencang di halaman rumahku dengan hanya mengenakan daster.
Tentu saja pertemuan tidak sengaja itu membuatku senang. Sebab sudah hampir satu minggu, terhitung sejak menempati rumah baru belum satu pun tetangga yang kukenali atau sempat kukunjungi.
"Saya Lidia. Maaf, kucing ini agak bandel. Ia suka berkeliaran di sekitar sini."
"Tidak masalah. Kucingmu bebas bermain di halaman rumahku ini."
"Oh, terima kasih. Anda baik sekali. Tadi aku sempat khawatir. Penghuni rumah yang lama---sebelum Anda, mereka tidak suka kucing. Setiap ada kucing berkeliaran di sekitar rumah ini pasti akan mengalami cedera karena diusir dengan kasar."
"Wah, masa iya? Kasihan benar kucing-kucing itu."
Perbincangan kami hanya sebatas itu. Lidia tampak terburu-buru. Setelah berhasil menangkap kucingnya yang lucu ia pamit pergi.Â
Ia menghilang di sebuah tikungan, yang mungkin saja tikungan itu adalah jalan menuju ke arah rumahnya.
Suatu hari kami bertemu lagi. Kali ini diperantarai oleh matahari. Aku sedang duduk terpekur di halaman samping rumah ketika---lagi-lagi, kulihat Lidia sedang mengejar seekor kucing.
"Ayolah, Momo. Jangan bermain jauh-jauh! Nanti kamu hilang!"
"Kucingmu tidak akan hilang. Ia pasti kembali. Seperti halnya dia, kekasihku. Aku yakin suatu hari ia akan kembali menemuiku."
Begitulah. Kami lantas berbincang-bincang akrab. Lidia tampak antusias menceritakan tentang kucing-kucingnya. Dan aku, gembira menceritakan tentang kekasihku.
Sejak saat itu kami jadi sering bertemu. Duduk berdua di atas lincak bambu yang terletak di samping rumah. Menikmati langit senja yang kadangkala suka sekali berubah-ubah warna.
***
Suatu pagi. Hujan turun sangat deras. Bagai tercurah dari langit. Dan udara dingin yang menggigit membuatku malas beranjak. Aku hanya duduk diam memeluk lutut menatap butiran air yang jatuh di halaman, yang sesekali tertiup angin lalu memercik pada kaca jendela membentuk butiran embun.
Jarum jam belum menunjukkan angka enam dengan sempurna ketika terdengar suara erangan kecil dari balik pintu.
Itu Momo. Kucing kesayangan Lidia. Aku hafal betul suaranya.
Buru-buru aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke arah pintu. Sempat terlintas dalam pikiran, Momo pasti tidak datang sendiri. Ada Momo tentu ada Lidia. Biasanya sih selalu begitu.
Tapi ternyata aku salah. Saat daun pintu terbuka yang kulihat hanya Momo. Tidak ada Lidia bersamanya.
Momo melompat ke dalam pangkuanku begitu aku berjongkok mengelus bulu-bulu halus di sekitar punggung dan lehernya.
"Ke mana Nyonyamu, Momo? Mengapa kamu datang sendirian?"
Seolah mengerti kata-kataku, Momo mengeong panjang. Sementara mataku tertuju ke arah jalanan. Berharap Lidia muncul---dengan hanya memakai daster, menyusul kucing kesayangannya yang pagi itu tampak kedinginan.
Namun hingga hujan mereda, hingga Momo tertidur pulas di dekat kakiku, tak juga ada tanda-tanda perempuan berkacamata minus itu bakal muncul.
Entah karena pengaruh udara dingin, atau karena bosan tidak melakukan aktivitas apa-apa, tanpa terasa aku pun ikut terlelap.Â
Mataku baru terbuka ketika terdengar seseorang mengetuk daun pintu. Berkali-kali.
Setengah mengantuk aku menyeret langkah, memutar anak kunci lalu melongokkan wajah.
"Permisi, apakah ada seekor kucing yang tersesat ke rumah ini?" Seorang perempuan, seusiaku, berdiri di ambang pintu.
"Kucing tersesat? Mm, apakah yang Anda maksud kucing itu?" Aku membuka pintu lebar-lebar seraya menunjuk ke arah Momo yang masih tertidur pulas.
"Oh, iya, benar sekali! Itu kucing saya!" Perempuan tak kukenal itu berseru gembira. Dan seruannya itu sontak membuat Momo terbangun. Kucing itu menggeliat sebentar lalu berlari menyongsong tamu yang berdiri di hadapanku.
"Oh, Momo sayang. Ke mana saja kamu selama ini?" Perempuan itu membungkukkan badan begitu Momo sampai di dekat kakinya.
"Menghilang? Momo tidak menghilang. Ia biasa datang kemari bersama---Lidia."
Mendengar nama Lidia kusebut, sembari menggendong Momo perempuan di hadapanku itu mengernyitkan alis.
"Lidia?"
"Iya, Lidia. Pemilik kucing ini!"
"Tidak ada nama Lidia di desa ini. Dan satu-satunya pemilik kucing ini adalah saya!"
"Anda jangan asal bicara. Saya mengenal baik siapa Lidia. Ia tinggal di..." Aku terdiam sejenak. Tak bisa menyebutkan tempat tinggal Lidia dengan pasti. Karena memang aku sama sekali belum pernah berkunjung ke rumahnya.
Sepertinya perempuan yang mengaku sebagai pemilik Momo itu tidak ingin lagi mendengar kata-kataku. Ia berbalik badan. Siap meninggalkan rumahku.
Tapi buru-buru aku mencegah langkahnya.
"Kembalikan kucing milik Lidia!" Dengan gerakan gesit kurebut kucing berbulu dua warna itu dari pelukannya.
"Hei, kucing ini milik saya!" Perempuan itu berusaha mempertahankan Momo.
Selanjutnya, keributan pun tidak terelakkan lagi. Tahu-tahu kami sudah berkelahi hebat.Â
Perkelahian baru berhenti ketika kami menyadari satu hal. Momo, kucing lucu yang sedang kami perebutkan itu diam-diam pergi menghilang. Entah ke mana.
***
Lidia tak henti tertawa saat kuceritakan keributan yang terjadi di pagi itu. Airmatanya sampai jatuh bercucuran.
"Sementara kalian berkelahi, Momo diam-diam datang menemuiku," ujarnya usai tawanya mereda.
"Sudah kuduga. Kucing itu pasti sedang bersamamu," agak dongkol aku menyela perkataannya.
"Iya, benar sekali. Pagi itu kami memang asyik bersenang-senang. Di atas pohon."
"Di atas pohon? Maksudmu tentu di bawah pohon," aku meralat kata-kata Lidia.
"Tidak! Kami benar-benar di atas pohon. Karena--- pohon memang rumahku."
"Rumahmu?" Aku mengernyit alis.
"Iya, rumahku." Lidia tersenyum simpul. Lalu melanjutkan kalimatnya. "Baiklah. Sepertinya sudah waktunya kutunjukkan sesuatu kepadamu."
Belum sempat bibir ini menyela, tiba-tiba Lidia sudah melakukan gerakan aneh. Ia meliukkan tubuhnya seperti orang sedang menari. Dan pada liukan kesekian tubuh itu terangkat cukup tinggi.Â
Lidia melayang! Lalu, hap. Ia hinggap di atas pohon beringin yang tumbuh tepat di samping rumah baruku.
***
Esoknya.Â
Pagi-pagi sekali perempuan yang pernah berkelahi denganku itu---yang mengaku sebagai pemilik Momo, datang lagi ke rumah. Kali ini ia tidak menanyakan perihal kucing lucu itu. Melainkan hanya ingin menceritakan satu kisah.
"Saya baru tahu dari tetua desa, Lidia yang Anda sebut-sebut itu ternyata memang ada. Tapi ia sudah lama meninggal. Ia tewas tertabrak mobil saat mengejar kucing kesayangannya."Â
Aku mengangguk.
"Anda tidak terkejut?" Perempuan itu menatapku heran. Aku menggeleng.
"Justru saya khawatir, Andalah yang akan terkejut setelah mendengar pengakuan ini. Saya mati lebih dulu dari Lidia. Mati bunuh diri. Saya terjun dari jendela apartemen lantai lima karena patah hati."
Lalu aku menunduk perlahan. Memperlihatkan ubun-ubun kepalaku yang hancur.
***
Malang, 04 Juni 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI