Perkelahian baru berhenti ketika kami menyadari satu hal. Momo, kucing lucu yang sedang kami perebutkan itu diam-diam pergi menghilang. Entah ke mana.
***
Lidia tak henti tertawa saat kuceritakan keributan yang terjadi di pagi itu. Airmatanya sampai jatuh bercucuran.
"Sementara kalian berkelahi, Momo diam-diam datang menemuiku," ujarnya usai tawanya mereda.
"Sudah kuduga. Kucing itu pasti sedang bersamamu," agak dongkol aku menyela perkataannya.
"Iya, benar sekali. Pagi itu kami memang asyik bersenang-senang. Di atas pohon."
"Di atas pohon? Maksudmu tentu di bawah pohon," aku meralat kata-kata Lidia.
"Tidak! Kami benar-benar di atas pohon. Karena--- pohon memang rumahku."
"Rumahmu?" Aku mengernyit alis.
"Iya, rumahku." Lidia tersenyum simpul. Lalu melanjutkan kalimatnya. "Baiklah. Sepertinya sudah waktunya kutunjukkan sesuatu kepadamu."
Belum sempat bibir ini menyela, tiba-tiba Lidia sudah melakukan gerakan aneh. Ia meliukkan tubuhnya seperti orang sedang menari. Dan pada liukan kesekian tubuh itu terangkat cukup tinggi.Â