Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Temani Aku Ed, Satu Pekan Saja

23 November 2016   12:44 Diperbarui: 26 Oktober 2021   09:19 1595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.etsy.com

Ed meletakkan map berwarna merah di atas meja. Wajahnya tampak lelah. Ingin sekali aku menawarkan segelas air minum, tapi tak kulakukan. Aku tahu ia pasti akan menolaknya.

"Bersiap-siaplah, Mer. Semua berkas sudah beres. Kau tinggal menandatanganinya." Ia berkata datar. Aku mengangguk, pasrah.

"Tolong permudah semuanya, ya, Mer. Jangan berbelit-belit saat di persidangan nanti."

Kembali aku mengangguk. Ya, mengangguk, hanya itu yang bisa aku lakukan.

Aku menatap Ed sekilas. 

Sepotong hati tetiba terasa begitu perih. Tapi apa yang bisa kulakukan selain pasrah? Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan? Ed sudah tidak mencintaiku lagi. Ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia lebih memilih Anya, perempuan muda yang diam-diam telah dinikahinya. 

"Ed, sebelum persidangan nanti, maukah kau menemaniku? Maksudku..." aku tersenyum rikuh.

"Kau ingin aku di sini?" Ed menautkan kedua alisnya.

"Iya, Ed. Satu pekan saja. Aku akan meminta izin Anya. Pasti ia mau mengerti."

Ed menatapku ragu.

"Kita tidak akan melakukan sesuatu yang...."

"Tentu saja tidak, Ed. Percayalah!"

***

Hari pertama bersama Ed

Seperti biasa, aku bangun pagi-pagi sekali. Membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, lalu membangunkan Ed yang tidur di kamar tamu.

Meski tidak menolak sarapan yang kutawarkan, wajah Ed masih belum berubah. Ia terlihat murung.

"Aku sudah menelpon Anya, Ed."

Ed tidak menyahut. Ditiupnya perlahan teh panas di hadapannya .

"Kau mau mandi, Ed? semua sudah kusiapkan."

"Kau tak usah serepot itu, Mer."

"Tidak Ed. Aku senang melakukannya untukmu," ujarku.

Ed hanya mengangkat bahu. Pandangannya masih tertuju pada gelas di atas meja.

Lima menit kemudian ia beranjak menuju kamar mandi.

Usai mandi aku menawarkan diri membantunya memasangkan dasi.

"Tidak usah, Mer. Aku bisa memasangnya sendiri."

"Sekali ini saja, Ed," aku memaksa. Ed akhirnya menyerah.

"Makan malam usahakan di rumah, ya, Ed. Aku menunggumu," bisikku sembari berhati-hati mengikat dasi yang melilit di lehernya.

Ed mengangguk samar. 

Sedetik pandangannya tertuju padaku.  

***

Hari kedua 

Ed bangun lebih pagi daripada aku. Tentu saja hal itu membuatku sedikit malu.

"Maafkan aku, Ed. Aku kesiangan."

"Apa sebaiknya aku pulang, Mer? Mungkin kau lelah karena kehadiranku. Lagi pula Anya...."

"Jangan Ed! Jangan pulang dulu."

Ed menghela napas panjang. Aku bergegas menuju dapur menyiapkan sarapan pagi untuknya. Sebentar kemudian spiring nasi goreng berhias telur mata sapi kesukaannya sudah terhidang di atas meja.

Dan aku senang melihat Ed melahab habis sarapannya hingga tak bersisa.

*** 

Hari ketiga

Entah mengapa pagi itu badanku terasa begitu lunglai. Pandanganku kabur. Kepala berdenyut-denyut. Sakit sekali. Serasa mau pecah. 

Meski begitu aku memaksakan diri untuk bangun. 

Agak sempoyongan aku berjalan keluar kamar.

Kulihat Ed sudah berada di ruang makan. 

"Selamat pagi Mer. Bagaimana keadaanmu?" ia menghampiriku seraya menyodorkan segelas teh panas.

"Aku baik-baik saja, Ed. Trims, untuk teh panasnya."

Ed terdiam. Tangan kekarnya terulur membuka tudung saji.

"Aku hanya menemukan ini, Mer." Kembali ia menyodorkan sesuatu di hadapanku. 

Dua iris roti tawar sudah beroleskan selai buah.

Pagi itu kami sarapan bersama tanpa bicara.

***

Hari keempat

Aku benar-benar tidak bisa menggerakkan tubuhku. Tulang belulangku terasa kaku. 

Kulihat Ed membuka pintu kamar dan melongokkan wajahnya. Ia sudah berpakaian rapi. 

"Dokter sebentar lagi datang, Mer. Aku sudah menghubunginya. Oh, ya, kau tak perlu repot-repot menyiapkan sarapan. Aku sudah membuatnya sendiri. Kau istirahat sajalah."

"Trims, Ed. Hati-hati di jalan."

Aku mengangkat tanganku. 

Ed tersenyum.

***

Hari kelima

Ed menungguiku di sisi ranjang. Wajahnya tampak gelisah. 

"Aku baik-baik saja, Ed. Dokter sudah memeriksa dan memberiku obat." Aku tersenyum untuk menenangkannya.

"Tapi wajahmu pucat sekali, Mer. Apa sebaiknya kita ke Rumah Sakit?"

Aku menggeleng. Kupejamkan mata sebentar. Hanya sebentar. Saat kubuka mataku kembali,  kulihat Ed tengah menatapku. 

"Ed, apakah kau tidak keberatan membantu aku bangun? Ini musim semi. Aku ingin menikmati bunga-bunga yang sedang bermekaran."

Ed mengangguk. Ia merangkulku. Kemudian memapahku. Membawaku perlahan menuju bingkai jendela yang terbuka.

***

Hari keenam

Ed menyuapiku. 

"Habiskan buburnya, ya, Mer. Kau harus sembuh."

"Aku pasti sembuh, Ed. Oh, ya, dua hari lagi sidang perceraian kita, bukan?"

Ed tak menyahut. 

Entah apa yang tengah dipikirkannya.

***

Hari ketujuh

Ed menangisiku.

"Mer, inikah yang kau inginkan dariku?"

Ingin sekali aku menghapus air mata Ed. Tapi bidadari-bidadari bersayap itu sudah menjemputku.

Aku harus pergi meninggalkan Ed. 

Juga map berwarna merah yang sejak sepekan lalu tergeletak tak tersentuh.

***

Malang, 23 November 2016

Lilik Fatimah Azzahra 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun