TELAH ditanda tanganinya Surat presiden (Surpres) Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) oleh Presiden Republik Indonesia, Jokowi Widodo (Jokowi) dikhawatirkan akan menjadi lonceng kematian bagi lembaga KPK. Upaya pengkerdilan atau pelemahan terhadap lembaga antirasuah ini memang bukan sekali ini terjadi.Â
Contoh kasus yang sampai saat ini masih misteri adalah penyerangan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Aparat kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang katanya sigap dalam bertindak dan profesional. Sampai detik ini masih kebingungan dan belum mampu mengungkap siapa dalang dibalik semua kejadian tersebut.
Seperti di lansir Tribunnews-Medan.com (11/9), Surat Presiden Jokowi tentang persutujuan pembahasan RUU KPK, sudah dilayangkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Kepastian penandatangan Surpres tersebut disampaikan Menteri Sekretris Negara, Pratikno.
Menurut Pratikno, daftar inventaris masalah (DIM) yang disampaikan dalam Surpres itu banyak merevisi draf RUU tentang KPK yang diusulkan DPR.
Beberapa kalangan dan pengamat meyakini, jika RUU KPK di syahkan Presiden Jokowi, akan sangat berpotensi mengebiri indenpendensi dan kinerja KPK.
Seperti ramai dibicarakan di berbagai media cetak maupun elektronik. Draft revisi Undang-undang KPK itu mencakup empat aspek. Pertama, tentang pemberian kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3).Â
Kedua, pengaturan kembali tentang kewenangan penyadapan. Ketiga, tentang keberadaan penyidik yang independen dan yang terakhir tentang pembentukan pengawas KPK.
Ke empat aspek ini yang memicu penolakan berbagai kalangan terhadap RUU KPK. Pasalnya diperkirakan akan berpotensi melemahkan dan mengebiri posisi lembaga antirasuah, yang berdiri sejak tahun 2002 tersebut.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, seperti dilansir detik.com, menegaskan, pihaknya melalui pusat Studi Hukum Dan Pusat Studi Kejahatan Ekonomi, telah mengkaji RUU revisi atas UU KPK. Hasilnya, ditemukan adanya pelemahan secara sistematik terhadap KPK.Â
Dalam hal ini, KPK seperti ditempatkan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, yang berpotensi menjadikan KPK sebagai subordinat pemerintah. KPK Tidak lagi independen, karena dapat disetir sesuai kehendak rezim yang berkuasa.
Jangankan empat aspek. Menurut penulis, satu aspek saja, pembatasan kewenangan KPK dalam hal penyadapan disyahkan, dampaknya akan signifikan.Â
Penulis rasa, pembatasan kewenangan penyadapan itu akan segera disambut suka cita oleh mereka-mereka yang berniat 'nakal' terhadap keuangan negara. Ibarat kata, pengesahan RUU KPK itu lonceng kematian bagi KPK.Â
Sedangkan di sisi lain, akan menghidupkan kembali budaya korup lebih leluasa dan menjadi genderang suka cita bagi para pemangku kebijakan yang berniat korup.Â
Apalagi, prestasi KPK selama ini, mayoritas masih berkutat  pada operasi tangkap tangan (OTT). Sudah barang tentu, keberhasilan ini tak lepas dari kewenangan KPK dalam melaksanakan fungsi penyadapan.
Lalu, bagaimana dengan Presisen Jokowi, jika RUU KPK disyahkan? Dilihat dari kacamata politik, rasanya akan menjadi preseden buruk bagi Presiden Jokowi sendiri. Soalnya, salah satu janji kampanye pada saat mencalonkan presiden, tahun 2014 dan 2019 adalah, akan lebih memperkuat posisi KPK.Â
Namun, gunjang ganjing saat ini malah bertolak belakang. Cukup beralasan, jika pimpinan KPK, Agus Raharjo, berani mengatakan, bahwa lembaga antirasuah, saat ini tengah di ujung tanduk.***