Mohon tunggu...
Ekriyani
Ekriyani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pembelajar di universitas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Banjir

10 Juni 2019   19:50 Diperbarui: 10 Juni 2019   19:58 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam kian larut
Suasana kian carut marut
Nyamuk kian ribut
Ikan pada meloncat ke tengah jalan
Anak-anak naik sampan gembira dengan candaan

Di mana rumah mereka?
Tak ada
Tenggelam
Banjir mandang menutup hingga atap

Lalu mereka tidur dimana?
Di mata, Bang
Begitu katanya

Mengapa tak sedih?
Padahal banjir sudah rendam atap rumah mereka
Sawah-sawah juga
Jalan desa terputus
Jembatan terbang hanyut seperti sampan

Mengapa tidak sedih?
Hahaha ....
Sedih hanya buat yang punya hati, Bang
Lihatlah mereka tak punya hati juga
Lalu, hanya kami yang disuruh lihat dan punya hati
Tak adil itu

Mengapa?
Hutan kami gundul
Sungai kami dangkal
Parit-parit berjuta dibuat
Seperti ular naga
Dimana air bisa bertahan

Lalu maumu apa?
Ya begini, Bang
Bermain air selagi banjir
Naik sampan sebelum jiwa kami hilang tuli dan tak mempan

Bantuan datang
Layaknya pahlawan
Ia paling berjasa
Padahal di hulu sana hujan guyur kebun mereka
Dalam kantor tertawa-tawa
"Ini waktunya kita buktikan, kita adalah pahlawan"

Akh, biar lah
Jika kiamat juga semua sama
Mati dan hancur tak bersisa

(Sungai Limas, 10 Juni 2019)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun