Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dinding-Dinding Gaib: Sebuah Renungan Belajar Bahasa Inggris

11 Juli 2021   17:22 Diperbarui: 11 Juli 2021   17:30 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang bolong minggu kedua Juli. Saya mengajak Mr. Mahfud, salah seorang guru speaking di Pare nongkrong di caf. Kami temu kangen setelah sekian bulan tidak bertemu dan ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja. Pertemuan tersebut sama tidak pentingnya dengan siang bolong minggu kedua di bulan Juli.

Adapun kesan yang lebih mendalam dan lebih penting adalah ingatan saya pertama kali berkenalan dengan beliau. Alkisah, Desember 2020 saya hanyalah seorang yang gagu dalam berbicara Bahasa Inggris. Bahkan sekadar berkenalan dengan bahasa Inggris saja saya tidak bisa!

Detail-detail cerita perkenalan saya dengan Mr. Mahfud seperti ketika saya mendapat teman kelas yang sudah mahir berbahasa Inggris, Mr. Alex namanya yang tentu saja membuat saya minder serta cara Mr. Mahfud mendorong saya untuk tidak berkecil hati tidaklah menarik dibahas.

Saya lebih tertarik terhadap jawaban beliau tentang pertanyaan besar saya, "Mengapa saya musti belajar ke Pare? Bukankah saya sudah belajar bahasa Inggris sejak saya SMP hingga di Universitas?

Tentu saja kebutuhan manusia itu didorong oleh ketidakterpenuhan hal yang membuatnya mencari sesuatu atau tempat yang bisa memenuhi kebutuhannya.

Lantas apakah itu artinya, selama ini saya sekolah sia-sia saja? Apakah sekolah tidak membuat para siswanya butuh dengan bahasa Inggris? Apakah yang salah? Operatornya yakni para pengajarnya, sistem sekolahnya, ideologi sekolahnya, atau metode belajarnya?"

Mr. Mahfud dalam hal ini menjawab banyak faktornya. Salah satu diantaranya adalah materi kurikulum yang agaknya tidak berbanding lurus dengan usia si pembelajar. Hal tersebut saya benarkan manakala saya melakukan permenungan atas materi mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah. Sejak mulai diajarkan mata pelajaran bahasa Inggris di SMP dulu saya selalu bergelut dengan rumus-rumus grammar atau tata bahasa. Saya dan teman-teman seangkatan saya jarang bahkan tidak pernah sama sekali diajarkan bagaimana saya berbicara bahasa Inggris.

Dampak dari ketidaksinkronan materi dengan usia pembelajarnya inilah yang membuat sebagian besar pembelajar termasuk saya tidak menyukai bahasa Inggris di sekolah.

Meskipun tidak sampai pada titik nadir kebencian terhadap pelajaran tersebut, agaknya yang saya rasakan adalah menganggap bahasa Inggris tidak penting sama sekali bagi hidup saya dulu.

Adapun salah satu faktor yan membuat saya masih pada level menganggap bahasa Inggris tidak penting adalah saya beruntung mendapat pengajar yang dapat mengerti, memahami karakter pembelajar dan menyesuaikan dirinya terhadap siswanya.

Pak Yani adalah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggris terbaik ketika SMP. Ibu Ditya Romadhona adalah guru bahasa Inggris terbaik ketika saya SMK. Selain diajar oleh mereka, saya sering melakukan kenakalan-kenakalan yang biasa dilakukan oleh siswa. Kenakalan yang tidak perlu saya uraikan demi sopan santun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun