Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Nasruddin Hodja dan PKI

11 Juli 2020   08:46 Diperbarui: 11 Juli 2020   08:52 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syahdan, Nasruddin Hodja yang meninggal kurang lebih pada abad 13 sedang menunggu menunggu yaumul kiamat. Sang Mullah yang hobi bercanda, di alam kubur sekali waktu menanyai pada ruh yang baru tiba,

"Assalmu'alaikum wa rahmatullhi wa baraktuhYa Ahli Kubur."

"Wa'alaikumussalm wa rahmatullhi wa baraktuh Ya Ahli Kubur"

"Ya Sahabat, kain kafanmu baru, jam berapakah engkau dikubur?"

"Ya Hodja engkau memang suka bercanda. Mana mungkin saya pakai jam tangan di sini? Dan lagi mana mungkin saya bisa lihat jam sementara mata saya merem sejak kematian"

"Lantas, Ya Sahabat tanggal berapa engkau meninggal?"

"Ya Hodja, andai saja aku membawa undangan tahlilan satu hari kematianku"

"Kau memang suka bercanda sahabatku, kiranya dari manakah engkau berasal?"

"Dari tanah kembali ke tanah Ya Hodja"

"Maksudku kenapa engkau cekikikan begitu? Mbok ya kalau ketawa-ketawa sekalian"

"Ya Hodja, aku sudah nahan ketawa dari tadi. Wah gawat kalau saya cekikikan apa lagi ketawa, kalau kedengaran di luar sana dikira suara setan"

"Oke. Oke. Lalu kenapa kau kelihatan senang begitu?"

"Paling tidak ada tiga alasan kenapa aku senang"

"Apa itu?"

"Pertama, karena pertanyaan-pertanyaan lucumu. Kedua, kau menyaksikan sendiri bukan kepalaku bukan dari batu bata? Kepalaku masih tanah liat, besok-besok juga hancur. Agaknya beruntung aku di dunia tidak kebanyakan main api"

"Lalu yang ketiga?"

"Di sini tenang. Enggak ada yang ribut soal politik. Adem ayem enggak kaya di atas sana. Di negaraku, kalau lagi rame politik, ribut terus soal kebangkitan PKI. Padahal PKI kan mungkin Cuma bisa bangkit lagi di yaumul ba'ats. Mungkin bangkitnya bareng Masyumi, Murba, PSI, PNI, dll. Itu juga  kalau bangkit lagi. Soalnya di hari kebangkitan sudah enggak memerlukan undang-undang. Adanya Cuma hukum Gusti Kang Murbeng Dumadi, cuma sabdo Gusti Kang Moho Kuoso. Enggak bakal ada lagi TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia maupun Pasal 107 a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara tentang Penyebaran Ajaran Komunisme/ Marxisme/ Leninisme. Ya soalnya mungkin Gusti Pengeran bakal gemas sama urusan cekcok politik. Ya Hodja, apakah engkau pernah tumon[1] orang habis bangkit -- semisal bangkit dari tidur, baru melek langsung bangkit berdiri sak-deg-sak-nyet langsung lari dan saling sikut rebutan kursi status quo? Apa enggak ngucek mata dulu, molet[2], hangop[3], lalu bangkit? Toh di hari kebangkitan kalau Tuhan membolehkan kita (yang dibangkitkan) ini bikin partai baru lagi atau membangkitkan partai yang lama, kan sudah enggak ada negara sebab semesta sudah tiada? Terus ada partai buat apa lagi coba? Terus lagi partai butuh bendera, lha mau nyablon dimana? Tukang sablon kan sudah meninggal semua?"

 

Sang Mullah tidak  berhenti tertawa terpingkal-pingkal, sebab sahabat yang baru wafat ini kalau ngomong ngapak - medok. Suatu logat yang yang unik, tidak ia temui di Aksehir.

 

"Ya Mullah, jangan keras-keras, di dunia orang lintang-pukang mengira kita setan. Nanti malah kita dimintai nomer togel."

 

"Ehem. Ehem. Maaf sahabatku," Hodja mencoba menenangkan dirinya. "Aku tertawa karena logatmu yang lucu"

 

"Ya Hodja, engkau juga lucu dan masyhur di negeri kami. Saya teringat cara Engkau menghadapi kemarahan dengan candaan. Saya ingat ketika seorang syeckh yang kesal dengan kemampuanmu memberikan jawaban-jawaban cerdas dan lawakan cerdas, mendatangimu yang sedang mengobrol dengan orang banyak. Sekonyong-konyong dengan satu tarikan nafas ia berseru padamu : Tolol!"

 

"Ya aku ingat. Aku mengangkat muka. Aku orang-orang banyak dibingungkan. Aku berjalan ke arahnya dan kusalami syeckh itu, sambil bilang dengan ramah : senang berkenalan dengan anda Tuan Tolol, Suatu kehormatan. Nama saya, Nasruddin Hodja"

 

"dan lagi, kekocakanmu saat mencari koin emasmu yang hilang, itu seperti bangsaku menyelesaikan kasus pelanggaran HAM."

 

"Sebentar. Sebentar. Jujur sahabatku, aku dari tadi tidak paham yang kau bicarakan tentang PKI, tentang Masyumi, tentang TAP MPR, tentang Marxisme-Leninisme. Apaan sih itu?"

 

"Baiklah begini saya ceritakan. Di negaraku, pernah ada kisruh geger politik sampai bacok-bacokan. Yang mati banyak dari Kyai, dari PKI, dari Tentara, sampai yang enggak paham terus mati gara-gara difitnah juga ada. Pokoknya yang mati banyak dan tak terhitung seperti aku enggak pernah tahu jumlah bulu hidungku. Siapa yang salah? Wallahu'alam."

 

"Terus?"

 

"Terus ada cerita lucu. Kamu mau kan main ke negaraku? Di negaraku banyak orang lucu lho!"

 

"Ya sudah ayok!"

 

"berang-berang makan kawat, modyar!"

 

Bapak Pucung Pada Tahun Sepi Ing Gawe, Rame Ing Pamrih

 

Tibalah mereka di suatu kota negara gemah ripah loh jinawi dan bersembunyi di suatu tempat yang aman. Masyarakat urban tidak ada yang weruh[4] dimana dua ruh ahli kubur kita ini bersembunyi. Kota telalu yang tidak pernah tidur ini terlalu menyibukkan kaum urban, sehingga segala hal yang begini jarang diperhatikan. Kalau toh ada yang tertarik memperhatikan pasti diolok-olok takhayul, klenik, dll. Tentu saja kebiasaan orang urban tidak begitu tertarik dengan takhayul dan klenik modernitas dalam alam pikir neoliberalisme.

 

"Ya Mullah kenapa kamu mengajak saya mengintip orang itu? Apakah dia lucu?"

 

"Saya rasa ya begitu. Ia sering menghadiahkan saya Al-Fatihah. Mari kita dengar apa yang tengah dilakukannya dengan lawan bicaranya..."

 

(di sisi yang lain, dua orang yang dimaksud sedang diperhatikan ahli kubur kita)

 

"Emm siapa tadi namamu?"

 

"Patrik" jawab seseorang yang telah menyenangkan Nasruddin Hodja.

 

"Mana ada nama Petrik muka kampung begitu" canda sang lawan bicara.

 

"You don't believe me? It's okay! You can call me : Petruk"

 

"Weladalah iya kan? Sontoloyo baru kenalan sudah bohong"

 

"Bukan bohong lah itu. Petruk mau jadi ratu kan harus fasih bahasa inggris biar diplomasinya lancar"

 

"Lha asalmu mana truk?"

 

"Dari kulit kebo"

 

"O lha wedhus[5]!

 

"Kerbau kok wedhus? Lha sampean sendiri asalnya mana?"

 

"Dari tanah toh!" jawab kenalan baru Petruk dengan mantap.

 

"Wedyan!"

 

"Eh eh eh! Mau apa kamu ngambil tanah begitu?"

 

"Lha ya coba, saya penasaran kata orang di TV-TV kok jin yang dari api bisa dibakar jerat-jerit kesakitan. Katanya loh ya. Mumpung saya dapat kenalan baru, coba ah saya lempar tanah yang nelo[6] apa bakal sakit juga?"

 

"Gemblung[7], kok aku yang dibuat percobaan? Coba pukulkan saja ke kepalamu Truk. Hahaha"

 

"Lha saya ini asalnya dari kulit kebo ya enggak sakit lah. Eh tadi belum di jawab asalmu mana?"

 

"Lha kamu juga belum jawab Truk. Asal saya Indonesia. Kalau kamu? Awas lho kalau bohong lagi"

 

"Okedeh. Saya asli Madiun"

 

"Woh! Lha PKI" sahut kenalan barunya spontan. Tampak air mukanya berubah menyelidik.

 

"Perasaan setiap ketemu dan kenalan sama orang kalau tahu asal saya kok jadi sering dituding begini?[8]"

 

"Alah ngaku aja"

 

"Lah saya ini lahir jaman tahun 1996, PKI sudah almarhum 30 tahun sebelumnya. Lha kapan saya daftar jadi anggota partainya?"

 

"Alah ngaku aja. Saya tahu kok"

 

"Wo sampean tahu daftarnya dimana to? Berarti sampean itu jangan-jangan..." tanya Petruk membercandainya.

 

"Gundulmu!" tampiknya cepat. "Mana ada! Kampungku bersih lingkungan[9]. Madiun lah itu gudangnya" tambahnya dengan suara yang agak ditinggikn.

 

"Sejarah Madiun itu banyak bro! Apa kau tahu kisah Raden Ronggo Prawirodirjo III yang melawan kebijakan Daendles[10] dengan asas domeinverklaring-nya [11]? Saat kompeni itu hendak menguasai dan membabat hutan jati Madiun siapa yang melawannya kalu bukan orang yang ampuh seperti Raden Ronggo Prawirodirjo III?"

 

"Alah mengarang kau itu! Mana ada, yang dikenal kan sejarah PKI!" jawabnya.

 

"Welahdalah. Sampean itu kebanyakan baca berita di mana sih? Begini. Begini. Saya jadi teringat kisah Sang Mullah, Nasruddin Hodja."

 

"Apa hubungannya? Siapa pula Nasruddin Hodja"

 

"Kau itu kurang membaca sih bro! Begini, dengarkan. Nasruddin Hodja pernah kehilangan koin emasnya. Ia yakin sekali koin emasnya hilang di lorong belakang rumahnya yang gelap. Lantas apa yang dilakukan Nasruddin Hodja?"

 

"Ya dia mencarinya. Namanya koin emas pastilah dicari."

 

"Ya. Tapi tahukah kau bagaimana ia mencarinya?"

 

Kenalan baru Petruk mulai penasaran. Wajahnya menyelidik, terlebih kisah ini dihubungkan dengan isu PKI.

 

"Sang Mullah, membungkuk-bungkuk sepanjang jalan depan rumahnya hingga ke kedai. Banyak orang-rang berkumpul di kedai itu dan bertanya sambil berseru:  Ya Mullah apa yang sedang kau lakukan? Sang Hodja melangkah ke arah mereka dan menceritakan masalahnya. Orang-orang di kedai itu bertanya kembali,: Kalau engkau kehilangan koin emasmu di sana kenapa engkau mencarinya di sini? Apa jawaban Nasruddin? Begini : Karena di sana gelap dan aku tidak dapat melihat, jika kucari di sini di tempat lebih terang tampaknya lebih baik"[12]

 

"Maksudmu?"

 

"Begini. Aku tidak pernah mendaftar anggota PKI, dan kau kutanya juga tidak tahu cara mendaftarnya jadi anggotanya dimana dan bagaimana"

 

"Lha ya saya tidak tahu!" timpal kenalan baru itu.

 

"Aha! Tapi aku tahu kalau sampean begini bersikap dengan saya bisa saya daftarkan segera"

 

"Daftarkan apa PKI? Ha!"

 

"Bukan. Tapi ke PKU. Biar sembuh" jawab Petruk sambil menunjuk Rumah Sakit Pusat Kesehatan Umum Muhammadiyah.

 

"Hahahaha. Ampun. Guyon[13] Truk. Guyon."

 

 

(disisi yang lain, Nasruddin dan Ahli Kubur kita berbisik)

 

 

"Nah begitu masalahnya di atas sini. Ayo kita kembali" ajak Nasruddin kepada si ahli kubur.

 

"Aku masih penasaran Ya Hodja, bagaimana seharusnya kualitas utama yang harus dimiliki manusia?"

 

"Ya Sahabat, kita telah meninggal janganlah penasaran, nanti orang akan menganggap engkau arwah penasaran dan mendugamu mati dengan tidak wajar. Seorang filsuf mengatakan padaku dua keutamaan itu. Pertama, dia lupa. Kedua, ia telah sampaikan padaku. Dan sayang sekali, keutamaan kedua aku juga sudah lupa."

 

Madiun, 11 Juli 2020

Catatan:

[1] Mengerti, menemukan. (Jawa)

[2] Molet dalam dialek Jawa Timur atau mulet dalam dialek Jawa Tengah artinya ngulet atau gerakan melemaskan otot yang sering dilakukan orang-orang yang baru bangun tidur (Jawa)

[3] Menguap karena ngantuk (Jawa).

[4] Bisa diartikan tahu, menyaksikan dengan semua penangkapan panca indra. Bisa juga diartikan paham. (Jawa)

[5] Kambing (Jawa)

[6] Jadi bongkah atau retak karena kering atau kemarau. Bisa dijumpai di lahan sawah yang kering kerontang. (Jawa)

[7] Gila, sinting, tidak waras. (Jawa)

[8] 

Sejauh yang penulis ketahui, sentimen isu PKI mulai diangkat ke permukaan sejak tahun 2014, mulai gencar dan menguat pada tahun 2015 contoh kasus pelarangan nonton bareng film Senyap pada tanggal 11 Maret 2015, bebrapa kali kasus penyitaan buku seperti pada tanggal 26 Desember 2018, 8 Januari 2019, 27 Juli 2019, geger tugu di Tol Madiun  pada 10 Februari 2020 yang dituding mirip logo PKI, bahkan hingga tulisan ini dibuat isu PKI tetap digulirkan, meskipun menurut riset Saiful Mujani Research and Consulting menyebutkan bahwa dari 1220 responden yang disurvei hanya 12,6 persen yang percaya PKI tengah bangkit. Artinya, isu kebangkitan PKI jika mengacu hasil riset SMRC tersebut, tidak ampuh untuk menghantam lawan politik (pemilu).

Pada tulisan ini, Penulis tidak menekankan pembahasannya terhadap keterkaitan isu kebangkitan PKI dan dampaknya terhadap perolehan suara pemilu, tetapi menekankan pembahasan bahwa isu kebangkitan PKI telah digunakan untuk menghajar lawan politik dalam konteks konflik agraria. Kerap perjuangan masyarakat mempertahankan tanah dan lingkungan mendapatkan stigma atau pelebelan PKI contoh nyata kasus kriminalisasi Budi Pego yang menolak tambang di Tumpang Pitu.

[9] Istilah yang digunakan pada masa Orde Baru untuk menjelaskan lingkungan dalam konteks sosial politik. Bershih lingkungan juga dipersandingkan dengan istilah bersih diri -- dipergunakan untuk menyaring calon PNS dan aparat.

[10] H.W Daendles, seorang gubenrur jendral yang terkenal memerintahkan proyek pembangunan jalan raya Anyer-Panarukkan yang menimbulkan ribuan korban para pekerja.

[11] Asas dalam hukum agrarian kolonial yang menyebutkan bahwa seluruh tanah tanpa sertifikat hak milik merupakan tanah Negara. Asas ini sering digunakan sebagai dalih perampasan lahan penduduk desa maupun masyarakat adat.

[12] Dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menggambarkan yang terjadi di Indonesia. Banyak orang mempertentangkan kebenarannya yang diyakini masing-masing. Apalagi banyak orang yang tidak bisa membedakan pada kasus 1948 dan 1965. Penulis tidak menekankan pembicaraan pada dua tahun tersebut, penulis hanya menekankan bahwa dalam dua periode tersebut telah banyak menimbulkan korban baik dari kalangan Kyai, PKI, maupun ABRI. Dan sampai kini, upaya rekonsiliasi belum begitu berhasil dilakukan.

[13] Bercanda (Jawa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun