Mohon tunggu...
Eko Ernada
Eko Ernada Mohon Tunggu... Pengajar, Peneliti, Aktivis Sosial.

Penulis dan pencari makna dalam pembelajaran, menggali makna dari setiap ilmu yang diajarkan dan ditulis, karena pengetahuan adalah cahaya yang perlu dibagikan."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Cancel Culture" dan Demokrasi Kita yang Ringkih

24 April 2025   18:59 Diperbarui: 25 April 2025   04:14 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahaya cancel culture terhadap kesehatan mental.(iStockphoto/tumsasedgars)

Beberapa waktu terakhir, linimasa media sosial kembali riuh oleh perdebatan lama yang tak kunjung reda: ijazah Presiden Joko Widodo. Di tengah berbagai klarifikasi dari kampus, mantan rektor, hingga mantan ketua Mahkamah Konstitusi, publik digital tetap terbelah. Ada yang membela sepenuh hati, ada pula yang menuntut pembatalan simbolik: agar sang Presiden “dihapus” dari sejarah.

Fenomena ini bukan semata tentang keaslian ijazah. Ia mencerminkan wajah baru demokrasi kita: ruang di mana media sosial menjadi medan tempur opini, dan cancel culture—budaya membatalkan seseorang karena dianggap bersalah di mata publik—tumbuh subur tanpa kerangka etik yang memadai. 

Dalam konteks demokrasi digital, cancel culture memperlihatkan wajah paradoks: ia lahir dari semangat partisipasi warga, tapi kerap berubah menjadi alat eksklusi. Tak ubahnya seperti demokrasi itu sendiri, cancel culture bisa menjadi ruang pembebasan atau instrumen pengucilan.

Lebih dari sekadar pertarungan opini, cancel culture hari ini juga mencerminkan krisis epistemik: siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran, dan dengan cara apa. Teori komunikasi Jurgen Habermas tentang "ruang publik" relevan untuk menggambarkan bagaimana diskursus seharusnya dijalankan melalui argumen rasional dalam iklim deliberatif. Tapi dalam praktiknya, ruang digital kita justru sering didominasi oleh emosi, noise, dan logika viralitas.

Dari Agora ke Twitter

Secara historis, cancel culture bukanlah gejala baru. Dalam Yunani Kuno, praktik ostracism digunakan untuk mengasingkan warga yang dianggap mengancam kota. Mereka tidak dipenjara, tetapi dikucilkan secara legal demi ketenangan publik. 

Dalam kasus semacam ini, pembatalan bukan sekadar penghapusan personalitas, tapi juga bentuk kontrol sosial yang dilembagakan—sebuah cara kolektif untuk memutus pengaruh individu terhadap ruang politik bersama.

Selama Revolusi Prancis, muncul pula semacam “guillotine sosial”, di mana tokoh-tokoh yang dianggap kontra-revolusioner dihukum oleh tekanan massa. Sejak awal, cancel culture mencerminkan ketegangan klasik: antara keadilan moral dan kekuasaan kolektif. Ia mengaburkan batas antara aspirasi moral dan semangat balas dendam. Fenomena ini menunjukkan bahwa sejak lama, masyarakat telah merancang mekanisme untuk mengatur siapa yang layak dipertahankan dalam memori kolektif, dan siapa yang harus dilenyapkan darinya.

Di era digital, fenomena ini mengambil bentuk baru yang lebih cair, instan, dan tidak terorganisir secara institusional. Ruang publik kini berpindah ke Twitter, TikTok, dan Instagram. Netizen dapat menjatuhkan vonis lebih cepat dari pengadilan, lebih viral dari laporan jurnalistik, dan lebih mematikan ketimbang proses hukum formal.

Dalam ruang ini, viralitas kerap menggantikan verifikasi, dan kemarahan kolektif menjadi tolok ukur kebenaran. Seiring dengan itu, algoritma media sosial turut memperkuat bias konfirmasi—mendorong pengguna untuk terus berinteraksi dengan konten yang memperkuat sudut pandangnya, bukan memperkaya perspektifnya. Dengan kata lain, demokrasi digital hari ini tak lagi dibentuk oleh deliberasi, tetapi oleh impuls dan ilusi keterlibatan.

Dari Indonesia ke Dunia

Cancel culture kini menjadi instrumen geopolitik. Dalam kasus jurnalis Amerika Evan Gershkovich, yang ditahan Rusia dengan tuduhan mata-mata, Barat dan Rusia saling berebut narasi. Barat menyebutnya korban represi kebebasan pers; Rusia menudingnya agen asing. Belum ada putusan hukum, tapi publik dunia sudah menjatuhkan vonis berdasarkan posisi politik masing-masing.

Di sisi lain, dukungan terhadap Palestina di Barat menjadi ruang penuh risiko. Tokoh publik seperti Susan Sarandon hingga akademisi Ivy League menghadapi tekanan besar karena menyuarakan solidaritas terhadap Gaza—dari pemutusan kontrak, sensor media, hingga pengucilan profesional. Cancel culture dalam konteks ini tak lagi membela yang lemah, tapi tunduk pada tekanan kekuasaan hegemonik.

Kita melihat bahwa cancel culture tak netral. Ia bisa bekerja sebagai alat kritik terhadap ketimpangan struktural, tetapi juga dapat dibajak untuk memperkuat status quo. Di sinilah kita harus berhati-hati: demokrasi tidak selalu lahir dari suara terbanyak, terutama jika suara itu dipandu oleh algoritma, bukan nurani.

Antara Perlawanan dan Persekusi

Dalam satu sisi, cancel culture muncul sebagai respons terhadap impunitas. Ketika sistem formal gagal menindak rasisme, kekerasan seksual, atau penyalahgunaan kekuasaan, publik mengambil alih. Dalam kerangka Michel Foucault, ini adalah ekspresi kuasa dari bawah (bottom-up power).

Namun, seperti yang diingatkan Hannah Arendt, ketika publik kehilangan keraguan dan menelan satu narasi tanpa banding, demokrasi justru berubah menjadi tirani massa. Kita menciptakan masyarakat yang gemar menghukum, tetapi miskin ruang pemulihan. Keadilan yang sehat tidak lahir dari ketergesaan, tapi dari proses.

Kasus ijazah Jokowi memperlihatkan gejala ini. Alih-alih menunggu proses, publik digital cenderung terjebak dalam polarisasi instan. Siapa yang bertanya dicap pembenci. Siapa yang membela dicurigai penjilat. Kritik kehilangan substansi, klarifikasi kehilangan ruang. Kita terlalu sibuk memperjuangkan kebenaran versi kita, sambil menutup telinga pada yang lain.

Demokrasi Tanpa Maaf?

Cancel culture melahirkan satu gejala baru: nihilnya ruang maaf. Di era digital yang menuntut kesempurnaan moral, satu kesalahan bisa menghapus seluruh rekam jejak. Kita lupa, demokrasi dibangun bukan oleh manusia suci, tapi oleh manusia yang mampu belajar dari kesalahan. Padahal, secara normatif, demokrasi bertumpu pada pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, dan karenanya membutuhkan ruang untuk memperbaiki diri.

Jika kita menelusuri tradisi pemikiran demokrasi Barat, dari John Stuart Mill hingga Martha Nussbaum, ada satu benang merah yang selalu ditekankan: pentingnya belas kasih dan pendidikan moral dalam membentuk warga negara. Demokrasi yang kaku terhadap masa lalu akan kesulitan membayangkan masa depan yang lebih inklusif.

Judith Butler pernah menekankan pentingnya “vulnerability and repair” dalam demokrasi: keberanian untuk mengakui keterbatasan, dan ruang untuk memperbaikinya. Dalam dunia yang sangat terbuka seperti sekarang, keterbukaan itu juga harus berarti memberi ruang kepada individu untuk tumbuh. Tanpa itu, ruang publik hanya akan menjadi arena penghakiman, bukan arena pertumbuhan. Dalam masyarakat yang sehat, maaf bukan kelemahan—ia adalah bentuk kekuatan moral dan kearifan kolektif untuk hidup berdampingan meski berbeda.

Menuju Etika Digital

Hari ini, yang kita butuhkan bukan sekadar kebebasan berpendapat, tetapi juga kebijaksanaan dalam menyuarakannya. Kita harus mampu membedakan antara kritik yang membangun dan persekusi yang membinasakan. Cancel culture, jika dibiarkan tanpa etik, justru memperlemah demokrasi yang hendak ia bela.

Dalam konteks Indonesia, literasi digital harus mencakup bukan hanya aspek teknis, tetapi juga dimensi etis. Pendidikan politik dan moral publik perlu berjalan seiring. Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam siklus sensasi, amarah, dan penghakiman yang tak menyisakan ruang dialog.

Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi tanpa kritik. Tapi juga bukan demokrasi tanpa ampun. Demokrasi yang utuh menuntut keberanian untuk mengingat, kemampuan untuk mengampuni, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.

Ditulis Oleh : Sus Eko Ernada, pengajar Komunikasi Internasional Universitas Jember

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun