Judith Butler pernah menekankan pentingnya “vulnerability and repair” dalam demokrasi: keberanian untuk mengakui keterbatasan, dan ruang untuk memperbaikinya. Dalam dunia yang sangat terbuka seperti sekarang, keterbukaan itu juga harus berarti memberi ruang kepada individu untuk tumbuh. Tanpa itu, ruang publik hanya akan menjadi arena penghakiman, bukan arena pertumbuhan. Dalam masyarakat yang sehat, maaf bukan kelemahan—ia adalah bentuk kekuatan moral dan kearifan kolektif untuk hidup berdampingan meski berbeda.
Menuju Etika Digital
Hari ini, yang kita butuhkan bukan sekadar kebebasan berpendapat, tetapi juga kebijaksanaan dalam menyuarakannya. Kita harus mampu membedakan antara kritik yang membangun dan persekusi yang membinasakan. Cancel culture, jika dibiarkan tanpa etik, justru memperlemah demokrasi yang hendak ia bela.
Dalam konteks Indonesia, literasi digital harus mencakup bukan hanya aspek teknis, tetapi juga dimensi etis. Pendidikan politik dan moral publik perlu berjalan seiring. Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam siklus sensasi, amarah, dan penghakiman yang tak menyisakan ruang dialog.
Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi tanpa kritik. Tapi juga bukan demokrasi tanpa ampun. Demokrasi yang utuh menuntut keberanian untuk mengingat, kemampuan untuk mengampuni, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.
Ditulis Oleh : Sus Eko Ernada, pengajar Komunikasi Internasional Universitas Jember
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI