Dari Indonesia ke Dunia
Cancel culture kini menjadi instrumen geopolitik. Dalam kasus jurnalis Amerika Evan Gershkovich, yang ditahan Rusia dengan tuduhan mata-mata, Barat dan Rusia saling berebut narasi. Barat menyebutnya korban represi kebebasan pers; Rusia menudingnya agen asing. Belum ada putusan hukum, tapi publik dunia sudah menjatuhkan vonis berdasarkan posisi politik masing-masing.
Di sisi lain, dukungan terhadap Palestina di Barat menjadi ruang penuh risiko. Tokoh publik seperti Susan Sarandon hingga akademisi Ivy League menghadapi tekanan besar karena menyuarakan solidaritas terhadap Gaza—dari pemutusan kontrak, sensor media, hingga pengucilan profesional. Cancel culture dalam konteks ini tak lagi membela yang lemah, tapi tunduk pada tekanan kekuasaan hegemonik.
Kita melihat bahwa cancel culture tak netral. Ia bisa bekerja sebagai alat kritik terhadap ketimpangan struktural, tetapi juga dapat dibajak untuk memperkuat status quo. Di sinilah kita harus berhati-hati: demokrasi tidak selalu lahir dari suara terbanyak, terutama jika suara itu dipandu oleh algoritma, bukan nurani.
Antara Perlawanan dan Persekusi
Dalam satu sisi, cancel culture muncul sebagai respons terhadap impunitas. Ketika sistem formal gagal menindak rasisme, kekerasan seksual, atau penyalahgunaan kekuasaan, publik mengambil alih. Dalam kerangka Michel Foucault, ini adalah ekspresi kuasa dari bawah (bottom-up power).
Namun, seperti yang diingatkan Hannah Arendt, ketika publik kehilangan keraguan dan menelan satu narasi tanpa banding, demokrasi justru berubah menjadi tirani massa. Kita menciptakan masyarakat yang gemar menghukum, tetapi miskin ruang pemulihan. Keadilan yang sehat tidak lahir dari ketergesaan, tapi dari proses.
Kasus ijazah Jokowi memperlihatkan gejala ini. Alih-alih menunggu proses, publik digital cenderung terjebak dalam polarisasi instan. Siapa yang bertanya dicap pembenci. Siapa yang membela dicurigai penjilat. Kritik kehilangan substansi, klarifikasi kehilangan ruang. Kita terlalu sibuk memperjuangkan kebenaran versi kita, sambil menutup telinga pada yang lain.
Demokrasi Tanpa Maaf?
Cancel culture melahirkan satu gejala baru: nihilnya ruang maaf. Di era digital yang menuntut kesempurnaan moral, satu kesalahan bisa menghapus seluruh rekam jejak. Kita lupa, demokrasi dibangun bukan oleh manusia suci, tapi oleh manusia yang mampu belajar dari kesalahan. Padahal, secara normatif, demokrasi bertumpu pada pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, dan karenanya membutuhkan ruang untuk memperbaiki diri.
Jika kita menelusuri tradisi pemikiran demokrasi Barat, dari John Stuart Mill hingga Martha Nussbaum, ada satu benang merah yang selalu ditekankan: pentingnya belas kasih dan pendidikan moral dalam membentuk warga negara. Demokrasi yang kaku terhadap masa lalu akan kesulitan membayangkan masa depan yang lebih inklusif.