Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Lalu dan Cinta Kita

20 Agustus 2019   15:52 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:58 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Resah karena cinta.

Membunuhku perlahan, memaksaku bertahan.

Dirimu dan diriku yang dulu pernah mencinta

Harus menaruh rasa cinta itu pada takdir yang ada.

Dan kita harus berpura-pura bahagia.

===

Jakarta, Agustus 2009

Perempuan itu menyeret kopernya yang berukuran superjumbo menuju sebuah rumah yang tampak kumuh.

"Serius kita tinggal disini?" tanyanya

Aku mengangguk pelan.

"Kotor" keluhnya.

"Nanti kita bersihkan sama-sama" kataku.

Kami bersebelas laki-laki dan dia perempuan. Satu-satunya alasan mengapa dia sendiri perempuan yang diterima di perusahaan listrik ini adalah perempuan itu lulusan S1 jurusan Teknik Mesin.

"Ganes, kamu tinggal di garasi ya" kataku.

Dia terdiam. 

"Di garasi ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi" kataku seolah bisa membaca kekesalan di wajahnya.

"ooo"

"Apa kamu mau tinggal di rumah utama sama kami?" godaku

Dia menggeleng. 

"Jangan bersikap macam-macam, ibumu sudah menitipkanmu padaku" kataku mengingatkan.

Dia meringis. 

Aku segera memasuki rumah kontrakan kami. Setidaknya selama setahun magang disini inilah tempat tinggal kami berdua belas. 

Perempuan itu tampak mengamatiku yang sedang memegang cincin di jari manisku.

"Kenapa lihatnya begitu?" tanyaku.

"Setia amat Mas sama tunangannya" godanya.

===

Jakarta, Agustus 2011

"Seharusnya aku dulu tidak menunggumu di stasiun, seharusnya dulu aku biarkan dirimu tertinggal kereta" entah mengapa aku keceplosan mengatakan tumpahan perasaanku padanya.

Perempuan itu hanya terdiam tidak mengerti apa maksudku mengatakan begitu. Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Aku memang dekat dengannya karena bidang yang kami tangani di kantor kebetulan sama.

Dua tahun yang lalu aku memang menunggu kedatangannya di stasiun Pasar Turi Surabaya. Aku tahu perempuan itu sebenarnya tidak ingin tinggal di Jakarta. Tapi kami tidak bisa serta merta meninggalkan rangkaian magang kerja di perusahaan ini. Jika dengan sengaja kami meninggalkan maka akan terkena denda puluhan juta rupiah.

Aku tidak mengerti mengapa aku begitu memperhatikan perasaanku. Beberapa waktu lalu aku bermimpi tentang perempuan ini. Di mimpi itu seolah dirinyalah yang menjadi calon istriku. Aku merasa kesal karena aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Semenjak aku memutuskan ikatan pertunanganku memang hanya dialah yang menjadi perhatianku. Namun sikap cueknya dan mudahnya dia bergaul dengan lelaki lain membuatku cemburu. Aku tidak mungkin mengakui rasa cemburuku, bagaimanapun juga perempuan itu belum waktunya untuk tahu perasaan yang kupendam untuknya.

===

Jakarta, Agustus 2019

Kuseruput kopi pahit yang ada di hadapanku. Perempuan itu kini berada di hadapanku. Sangat dewasa dan keibuan.

"Mas baik-baik saja kan?" tanyanya.

"Ya, kamu bagaimana kabarnya?"

"Baik, alhamdulillah"

"Oooo.."

"Mas kenapa kok tumben tetiba pingin ajak bicara. Tentang apa ya?"

"Aku tidak tahu harus mulai darimana"

Perempuan itu tersenyum manis. Entah apakah senyum itu pula yang dulu membiusku. Membuat aku merasa bahagia.

Sepuluh tahun telah berlalu. Kini aku dan perempuan itu memiliki jalan masing-masing. Aku yang sempat menyukainya namun terlambat mengungkapkannya hingga akhirnya perempuan ini menikah dengan salahsatu seniorku. Aku masih belum bisa melupakan saat dimana undangan darinya berada di meja kerjaku. Tidak pernah kujumpai mereka berpacaran, bahkan saat di kantor mereka tidak pernah saling tegur sapa, namun tak kukira ternyata mereka merencanakan pernikahan yang indah.

"Mas masih bisa cerita apapun padaku" katanya.

Ah, rasanya sudah lebih dari tujuh tahun yang lalu aku bisa berbincang bebas dengannya. Namun saat ini aku harus menjaga sikap agar istriku dan suaminya tidak berpikir macam-macam tentang kami.

"Ganes, kamu bahagia?" tanyaku.

"Ya"

"Tanpa diriku?"

Perempuan itu menatapku. Ada raut kekecewaan terpancar dimatanya.

"Haruskah aku menjawab?" tanyanya

"Tak perlu, aku sudah tahu"

"Sudah tahu apa?"

"Sudah tahu kalau kau masih mencintaiku"

Hening... Malam ini sebagai saksi dua insan yang masih saling mencinta harus merelakan hatinya. Pernikahan yang membuat kami semakin saling menjauh. Pernikahan yang sebenarnya menyadarkanku betapa aku sangat menyukainya. Dan masih menyukainya. 

"Seharusnya aku dulu tidak menunggumu di stasiun, seharusnya dulu aku biarkan dirimu tertinggal kereta" kataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun