Tani menatap pantulan wajahnya di cermin retak. Topeng putih dengan motif batik di tangannya terasa dingin. Di sampingnya, Suka menyelesaikan tali topeng merahnya yang bermotif wayang. Mereka berdua tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang di kota yang sudah kehilangan jiwanya.
"Siap?" tanya Suka, suaranya lembut tapi tegas. Rambutnya yang hitam panjang sudah dikepang rapi, tersembunyi di balik hoodie hitam.
Tani mengangguk, memasang topengnya dengan hati-hati. "Selalu siap melawan para zombi berseragam."
***
Kota itu dulunya adalah surga urban yang sibuk. Mal-mal menjulang dengan lampu neon, pasar tradisional berdenyut dengan kehidupan, dan jalanan dipenuhi mimpi-mimpi yang belum terwujud. Tapi itu dulu, sebelum wabah keserakahan mengubah sebagian penduduknya menjadi zombi-zombi bersenjata yang hanya bisa mencium bau uang dan kelemahan.
Mereka menyebut diri mereka "Penjaga Keamanan dan Ketertiban", tapi semua orang tahu mereka hanya zombi berseragam yang kehilangan kemanusiaannya. Pistol di pinggang dan pentungan di tangan adalah perpanjangan dari keserakahan mereka. Setiap malam, mereka berkeliaran mencari mangsa---pedagang kaki lima, siswa pulang les, atau siapa pun yang terlihat lemah di mata mereka yang kosong.
***
Tani dan Suka pertama kali bertemu enam bulan lalu, saat keduanya nyaris menjadi korban pemerasan para zombi.Â
Tani, mahasiswa seni rupa yang terpaksa berjualan kopi keliling untuk membiayai kuliahnya, hampir kehilangan gerobak dan tabungan sebulan.
Suka, yang bekerja sebagai guru tari tradisional, nyaris kehilangan honor mengajarnya. Tapi takdir mempertemukan mereka di gang sempit yang sama, dan bersama-sama mereka berhasil lolos.
Sejak malam itu, mereka bersumpah: tidak akan ada lagi yang menjadi korban.