Namun aspek ekonomi yang menguntungkan pelaku usaha (pemegang IUP), serta berkontribusi bagi pendapatan negara dan daerah, tidak dibarengi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Padahal amanat untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, sudah tertuang dalam pasal 96 dari UU Minerba yang harus dilakukan oleh pemilik IUP mineral bukan logam atau tambang galian C. Sebagai bagian dari kaidah pertambangan yang baik.
Jika melintas di ruas jalan Palu-Donggala Kawasan Teluk Palu, kita akan mendapatkan dan merasakan langsung, realitas degradasi lingkungan yang dimaksud. Â
Pertama, penampakan punggung pegunungan yang dalam kondisi rusak, karena terus dikeruk kandungan materialnya berupa pasir dan batuan. Material tersebut dominan didistribusikan ke bu Kota Negara Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Â
Pengerukan material tambang tak bisa dielakkan, mengingat lokasi IUP berada dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang diberikan oleh Kementerian terkait, Â setelah melalui permohonan pemilik IUP, sebagaimana diatur dalam regulasi UU Minerba.
Dalam beberapa kasus, musibah banjir bandang dan tanah longsor terjadi pada WIUP di Teluk Palu. Akibat eksploitasi tambang yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Dimana musibah tersebut dirasakan langsung oleh masyarakat lingkar tambang.
Kedua, polisi udara berupa debu yang diakibatkan mobilisasi material dari site tambang ke pelabuhan Jety. Untuk bersandarnya kapal tongkang di pesisir Teluk Palu. Dimana keberadaan debu ini berdampak langsung bagi pengendara yang melintas.
Polusi udara tidak bisa dihindari, karena sejumlah perusahaan tambang masih mengangkut material menggunakan kendaraan berat berupa dump truk yang menyebabkan ruas jalan dipenuhi debu.
Sejatinya, polusi udara bisa diantisipasi jika perusahaan tambang menggunakan Belt Conveyor (ban berjalan) untuk mobilisasi material tambang, sehingga meminimalisir polusi udara.