"Permisi, Bu Diah."
"Iya, Mbak, kenapa?"
"Maaf, Bu. Tadi saya liat Mbak Hasna, kok, pergi buru-buru bawa tas juga, mau kemana?" kataku pelan berbisik tepat disamping telinga Ibu Diah.
"Oh, Mbak Hasna mau pulang kampung dijemput kakaknya," jawab Ibu Diah selaku pemilik rumah.
"Eh, kakaknya. Saya kira laki-laki itu siapa. Ya, sudah, terima kasih, Bu Diah."
"Emang gak pamitan sama Mbak? Kalian kan dekat?" sambung Bu Diah dan mempersilahkan aku untuk duduk di teras kontrakan.
"Engga, Bu. Makanya saya nanya," tukasku.
"Saya juga heran si, Mbak. Pulang kampung diam-diam dari suaminya."
"Oh, begitu ... Ya, sudah, Bu. Saya gak bisa lama-lama harus ke pasar." Aku memotong pembicaraan yang semakin melebar.
"Iya, Mbak."
Aku penasaran, Mbak Hasna pulang kampung kali ini tanpa pamit. Tidak ada telepon atau pun chat WhatsApp masuk di ponselku. Biasanya ketika Mbak Hasna mudik, ia selalu bertanya aku ingin dibawakan oleh-oleh atau sekadar titip untuk membelikan beberapa makanan khas kota kelahirannya.