Sesaat Shancai tidak tahu harus berbuat apa. Ia menunduk seperti biasa. Degupan di jantungnya terdengar riuh. Keputusan yang dilesatkan Tao Ming Se memang serupa mimpi, dan ketika anak panah kalimat itu menancap tepat di hatinya, ia masih meyakinkan dirinya tengah bermimpi. Sama sekali tidak menyangka pertemuan mereka akan diawali dengan selantun litani.
"Tapi...."
"Tapi kenapa?!"
Gadis itu membisu. Kerongkongannya perih. Ada rasa sakit yang kembali mengaduk-aduk hatinya. Seraut wajah lara membayang di pelupuk matanya. Banyak hal yang belum dapat dituntaskannya hanya dengan sekali rengkuh. Aral yang membentang terlalu garang untuk ditempuh tubuh rapuh seorang Tong Shancai.
Menjawabi desakan pemuda itu hanya akan menambah sejumlah luka di hatinya. Mungkin terlalu dini apabila ia mengangguk. Sebab hari-hari yang menjelang belum mencetuskan sebuah asa yang pasti. Ia lebih memilih untuk menyimpan saja impian cintanya itu hanya dalam hati tanpa harus memupuknya dengan segebung harapan.
Atmosfer sunyi di Gereja St Pons melingkupi dinding-dinding dua hati. Dari kejauhan lonceng tua di salah satu puncak menaranya bergetar pelan ditiup semilir angin. Syahdu pertemuan dua hati sekaligus menggamangkan.
Shancai terisak. Satu di antara seribu kenangan indah mereka berdua menguak kembali di memori kepalanya. Mungkinkah takdir akan kembali mempermainkan cinta mereka? Mungkinkah takdir akan kembali memisahkan tautan hati mereka?
"Kamu meragukan ketulusanku?"
Shancai menggeleng.
Tidak! Bukan karena hal itu! Kesungguhan dan ketulusan yang telah kamu berikan kepadaku jauh sebelum ikrar kita di bawah hujan meteor, telah membuktikan betapa besarnya cintamu kepadaku, Tao Ming Se! bisik Shancai dalam hati.
"Shancai...."