Tatapan kosongnya menguncupkan bibirku yang mengembang tulus. Aku sedikit kecewa atas perlakuannya yang sama dari waktu ke waktu. Dan aku duduk pelan-pelan di atas genteng atap rumah kala ia mengembalikan pandangannya pada bentangan langit yang mulai menoktahkan gemintang.
Ya, Tuhan. Terlalu naif rasanya mengharap secuil tanggapan di saat luka psikis itu belum mengering dari hatinya. Aku menggigit bibir.
Mungkin Tuhan tengah menghukum aku atas tindakan emosional dua tahun lalu saat kabur dari keluargaku di Buthan. Â Mungkin sosok yang sekarang terasing dari dunianya ini merupakan beban yang mesti kupikul agar tidak dapat melangkah sesuka hati lagi.
Tuhan ingin aku bertanggung jawab atas beban yang ditaruh di atas pundakku. Tuhan ingin mendewasakan aku dengan kemandirian.
Tapi lepas dari semua itu, aku merasa kehadiran pemuda amnesia ini telah mengisi hidupku dengan penuh warna. Ia telah menjadi bagian dari hidupku belakangan ini.
Ia secara tidak langsung mengajari aku bagaimana bertanggung jawab. Bukannya lagi gadis dengan pikiran bocah yang hanya menghabiskan waktu berterbangan seperti burung dari satu negara ke negara lainnya.
***
"Hei, lihat. Itu bintangku!"
Aku menjerit, sontak berdiri dari dudukku di atas genteng atap rumah sembari mengarahkan telunjukku ke sebuah bintang yang paling bersinar di layar kelam langit. Namun pemuda itu tak bergeming. Hanya menolehkan kepalanya sekilas.
"Sungguh! Itu bintangku! Aku tidak bohong!"
Sebuah penegasan yang sia-sia. Tapi aku masih berusaha mengajaknya berdialog. Paling tidak supaya ia dapat menanggapiku sebagai sahabat yang bersahaja, yang menawarkan dan mengulurkan tali persahabatan dengan ramah beberapa hari ini. Bukannya gadis biang pelantak hidupnya!