Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FR] Jilbab Ramadhan

15 Juli 2015   00:57 Diperbarui: 11 Juni 2016   11:23 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suatu siang ketika matahari tidak terlalu garang menebarkan panasnya. Seorang lelaki nampak berjalan mengendap-endap ke sebuah warung bertenda biru, di sebuah sudut perumahan. Meski tidak seramai biasanya namun suasana dalam warung juga tidak bisa dikatakan sepi. Setelah memesan semangkuk mie ayam dan es teh, lelaki tersebut segera sibuk dengan ponselnya.

Lelaki itu bernama Ramadhan. Kamu tahu, kenapa? Sebab dia dilahirkan sehari sebelum bulan puasa tiba. Nanggung, begitu kilah bapak dan ibunya. Mereka yakin orang-orang akan memakluminya, semaklum pada bayi yang lahir caesar pada tanggal 17 Agustus.

Ramadhan batuk-batuk karena tersedak ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang saat dia tengah asyik menyedot es tehnya.

“Woi! Ngagetin aja kamu, Jon,” kata Ramadhan dengan nada geram.

“Sialan, aku muter-muter nyariin kamu ternyata nyungsep disini. Dasar, kampret!” jawab lelaki yang di panggil Jon tersebut sambil duduk di samping Ramadhan. Nama lengkapnya Sujono, biasa dipanggil Jono. Sahabat Ramadhan sejak dari kecil.

“Kamu puasa, Jon?” tanya Ramadhan kepada sahabatnya.

Alhamdulillah.”

“Gimana ni, Jon. Bantuin aku deketin Ratih, dong,” kata Ramadhan dengan raut muka serius meski sebenarnya lebih nampak lucu. “Tiap ketemu orang pas lebaran pasti nanyain, kapan nikah? Mana pacarnya?”

“Dhan, sekarang aja kalau mau deketin Ratih. Momennya pas. Kamu barengi tu si Ratih tiap pulang pergi tarawih.”

“Malu, ah. Rame sekali.”

“Cemen! Kan, puasa baru dapat dua hari, wajarlah kalo masih ramai. Mau dapat jodoh, nggak?” Jono berhenti sejenak, mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Si Joko, dulu dapat jodohnya juga pas tarawih. Bambang, Rukidi, Narno, Jimin. Banyak, kok, teman-teman kita yang beruntung pas bulan puasa.”

***

“Aku boleh mampir bentar ya, Dik?” tanya Ramadhan kepada Ratih ketika perjalanan mereka sudah persis di depan rumah gadis berkerudung ungu tersebut. Sudah sebelas malam, Ramadhan selalu mengantar jemput Ratih tarawih bareng namun baru malam ini dia punya keberanian untuk singgah ke rumahnya.

“Ada apa, Mas?”

“Aku ada sesuatu buat kamu.”

“ Wuih.., apaan, Mas? Ya, udah. Duduk dulu, Mas,” kata Ratih sambil masuk ke dalam rumah.

Ramadhan duduk di kursi teras, menghadap pintu utama. Pintu yang terbuka membuat pandangan Ramadhan bisa menyaksikan semua aktifitas di ruangan tersebut dengan leluasa. Di dalam ruang tamu nampak Bu Yatmi, ibunya Ratih, sedang berbincang-bincang dengan dua orang ibu-ibu. Menilik dari penampilan mereka yang necis serta menenteng sebuah kitab besar sepertinya mereka hendak pergi ke sebuah acara pengajian.

“Eh, Bu Yatmi, jilbabnya bagus sekali. Baru, ya?” seloroh salah satunya.

“Ah, Jeng Dewi, bisa aja. Ini oleh-oleh dari papanya Ratih, kemarin habis kunjungan ke Singapur,” terang Bu Yatmi penuh semangat. “Di sini juga banyak, Jeng. Murah, kok, paling cuma dua jutaan.”

“Malam ini giliran tempatnya Bu Sri kan, Bu,” kata ibu satunya lagi. “Kasihan, ya. Bu Sri itu kan suaminya seorang pejabat tinggi, masak jilbabnya hanya itu-itu saja.”

“Lho, memangnya Jeng Denok belum tahu, ya?” jawab Bu Dewi. “Suaminya Bu Sri itu kan punya wanita simpanan. Denger-denger sih, artis”

“Beneran, Jeng?” tanya Bu Denok penasaran.

“Ya, iyalah, Jeng. Masak istri pejabat penampilannya ndeso begitu, terus kemana larinya duit suaminya? Ya, ke simpanannya,” jawab Bu yatmi sambil tertawa.

“Untung bukan bapaknya anak-anak. Saya sobek-sobek kalau dia berani macem-macem!” kata Bu Dewi sambil menggengamkan kedua tangannya di depan dada.

“Jalan, yuk, Jeng! Udah mau mulai acaranya,” ajak Bu Yatmi pada dua orang temannya. Mereka pun segera bergegas keluar melewati Ramadhan yang duduk di teras tanpa berkata apa-apa.

Tak lama kemudian, Ratih keluar ke teras menemui Ramadhan dan duduk di bangku sebelahnya. Dia terlihat cantik sekali. Memakai T-Shirt putih dengan paduan celana pendek ketat dari bahan jeans membuat hati Ramadhan semakin terpikat kepadanya.

“Mau ngasih apa, Mas?”

“Aku membelikan jilbab untuk kamu, Dik. Semoga dik Ratih suka memakainya,” jawab Ramadhan sambil menyodorkan sebuah bingkisan kepada Ratih. Gadis itu nampak ceria sekali menerimanya.

“Pasti suka, dong. Kan, spesial dari mas Adhan.”

“Dik Ratih, kapan kita bisa bukber bareng?”

“Liat nanti aja, Mas. Besok kalau bisa pasti saya SMS.”

“Aku tunggu, ya.”

“Oke.”

***

Sore ini hati Ramadhan terasa gelisah. Sudah lima hari, SMS dari Ratih tak kunjung datang jua. Untuk menghilangkan penat, dia berencana pergi ke mall sambil menjalankan ritual rutin menyambut lebaran. Membeli baju dan celana.

Bangunan berlantai lima yang hendak di tuju oleh Ramadhan sudah kelihatan namun dia malah menghentikan laju motornya. Sial! Ramadhan menggerutu dalam hati. Bensin motor bebeknya habis. Di seberang jalan nampak olehnya sebuah warung yang menjual bensin eceran. Dia lalu menuntun motornya sambil celigukan untuk menyeberang jalan. Ramadhan kaget ketika tiba-tiba dari arah belakang sebuah motor sport nyaris menyerempetnya. Setelah melalui proses cepat saling mengumpat dan adu pandang, motor sport tersebut segera berlalu dari pandangannya. Ramadhan cuek saja. Toh, dia tidak merasa kenal dengan pemuda tersebut.

Mendadak lutut Ramadhan bergetar dan jantungnya berdebar. Jilbab! Ya, jilbab! Dia merasa tidak asing dengan motif jilbab yang dipakai pembonceng motor tadi. Seorang gadis yang melingkarkan tangannya dengan erat pada pemuda di depannya. Itu adalah jilbab yang dia beli untuk Ratih, gadis pujaannya.

***

 

 

-Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
-Silakan bergabung di group fiksiana comunity.

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun