"Memuji bukanlah tentang melontarkan kata-kata manis. Ia adalah seni mengenali, memahami, dan berkomunikasi dengan nada jiwa seorang anak."
Dunia berputar semakin cepat. Di tengah pusaran tren TikTok yang menuntut setiap remaja memiliki "main character energy", ekspektasi untuk tampil sempurna terasa begitu menyesakkan. Setiap unggahan adalah panggung. Setiap komentar adalah validasi. Fenomena ini, yang berakar pada budaya pop, tanpa sadar merembes ke ruang paling privat kita: rumah.
Kita, sebagai orang tua, terjebak dalam dilema yang sama. Kita ingin anak-anak kita bersinar, menjadi karakter utama dalam kisah hidup mereka. Maka, kita hujani mereka dengan pujian, berharap itu menjadi bahan bakar roket mereka menuju bintang. Namun, seringkali kita lupa satu hal krusial. Tidak semua bahan bakar cocok untuk setiap mesin.
Gema Pujian di Era Echo Chamber
Pujian telah menjadi komoditas. Ia diburu di jagat maya dan didamba di dunia nyata, menciptakan sebuah echo chamber atau ruang gema di mana anak-anak hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar.Â
Kondisi ini diperparah oleh tekanan sosial tanpa henti, sebuah realitas yang bahkan disorot oleh figur publik seperti aktris dan pegiat pendidikan, Maudy Ayunda, dalam sebuah siniar (podcast) sebulan terakhir. Ia menyinggung betapa krusialnya membangun resiliensi internal pada anak, bukan sekadar memoles fasad eksternal mereka dengan sanjungan. Niat kita baik.
Perhatikan kisah Bima, seorang siswa SD yang selalu menjadi bintang kelas. Sejak kecil, ia terbiasa mendengar kalimat sakti dari orang tuanya: "Bima memang anak pintar!" Pujian itu terasa manis. Bima percaya bahwa kepintaran adalah takdirnya, sesuatu yang melekat begitu saja pada dirinya. Ia tak perlu berusaha keras untuk mendapat nilai 100. Semuanya terasa mudah.
Namun, petaka datang saat ia mengikuti olimpiade matematika tingkat provinsi. Soal-soalnya jauh lebih sulit. Untuk pertama kalinya, Bima tidak tahu jawabannya. Ia panik, keringat dingin membasahi keningnya, dan ia menyerah di tengah jalan.Â
Akibat fatal dari pujian "kamu pintar" adalah rapuhnya mental Bima. Ketika takdir "pintar"-nya diuji oleh tantangan nyata, seluruh bangunan kepercayaan dirinya runtuh seketika. Ia tidak pernah diajari untuk menghargai proses dan kegigihan.
Kisah Bima adalah cerminan dari apa yang ditemukan praktisi Edy Suhardono setelah melayani lebih dari 16 ribu klien melalui IISA Assessment Consultancy & Research Centre. Dalam karyanya, Kecerdasan Jamak: Keberagaman dan Inklusivitasnya, Suhardono (2025) menegaskan bahwa pujian yang salah alamat dapat membelokkan potensi sejati seorang anak. Ia mengadvokasikan istilah "Kecerdasan Jamak" karena kata "jamak" memiliki makna yang lebih luas dan inklusif, merepresentasikan keberagaman kecerdasan manusia yang sesungguhnya.
Membaca Peta Kecerdasan Anak
Di sinilah letak kekeliruan fundamental kita. Kita kerap menyamaratakan tips pengasuhan, seolah ada satu formula ajaib untuk memuji. Padahal, seperti yang ditegaskan dalam Dalil 2 Suhardono (2025), tidak ada dua anak yang memiliki gaya dan cara belajar yang sama persis, bahkan kembar identik sekalipun. Mengabaikan peta unik ini sama saja dengan memberikan pupuk kaktus untuk tanaman anggrek. Niatnya menyuburkan, hasilnya justru mematikan.
Lihatlah keluarga Pak Rahmat, yang memiliki dua anak: Rina dan adiknya, Adi. Rina, dengan kecerdasan linguistik yang cemerlang, selalu banjir pujian untuk puisi dan karangannya yang indah. Pak Rahmat, dengan bangga, selalu berkata, "Tulisanmu luar biasa, Nak. Kamu pasti jadi penulis hebat!"
Sementara itu, Adi adalah anak yang tangkas. Kecerdasan kinestetik dan spasialnya begitu menonjol; ia mampu merakit miniatur pesawat yang rumit dan gerakan dribel bolanya sangat lincah. Namun, di rapornya, nilai bahasa Indonesianya selalu merah. Menggunakan modus pujian yang sama, Pak Rahmat justru sering memarahinya, "Kenapa kamu tidak bisa menulis serapi kakakmu? Contohlah dia!"
Akibat fatalnya? Adi tumbuh dengan keyakinan bahwa ia bodoh. Potensi emasnya di bidang teknik atau olahraga tidak pernah diakui dan diasah karena orang tuanya hanya memiliki satu "cetakan" pujian yang salah alamat.
Untuk memuji secara efektif, kita perlu membedakan minat, bakat, dan kecerdasan. Pujian yang paling berdaya adalah yang ditujukan pada upaya anak dalam mengasah bakatnya, yang didasari oleh kecerdasan dominannya. Bahkan, menurut Dalil 9 dari Suhardono (2025), berkembang atau tidaknya kecerdasan interpersonal seorang anak merupakan akibat langsung dari ketepatan perlakuan lingkungan terhadap kecerdasan dominannya. Pujian yang salah bukan hanya tidak efektif, tetapi berpotensi merusak kemampuan sosialnya.
Seni Memuji Sesuai Nada Jiwa
Memuji bukanlah tentang melontarkan kata-kata manis. Ia adalah seni mengenali, memahami, dan berkomunikasi dengan nada jiwa seorang anak. Ini adalah sebuah perjalanan panjang untuk mengenali diri anak, sebuah dialog, bukan monolog. Pujian yang efektif terasa personal, spesifik, dan yang terpenting, tulus. Ia tidak berfokus pada label "hebat" atau "pintar," melainkan pada proses dan keunikan cara anak dalam menaklukkan tantangan.
Bayangkan seorang guru bernama Ibu Wati. Di kelasnya, ada seorang anak pendiam bernama Sari yang gemar mengamati serangga di taman sekolah. Anak-anak lain menganggapnya aneh. Guru lain mungkin akan memberinya pujian generik seperti "Anak rajin," yang tak akan berarti apa-apa.
Namun, Ibu Wati, yang memahami kecerdasan naturalistik Sari, mendekatinya dan berbisik, "Ibu perhatikan caramu mengamati siklus hidup kepompong itu. Kamu sangat sabar dan teliti. Pengamatanmu bisa jadi penemuan penting, lho." Kalimat itu adalah sebuah kunci. Untuk pertama kalinya, Sari merasa "dilihat".
Hobinya yang dianggap aneh ternyata adalah sebuah kecerdasan. Pujian yang tepat sasaran itu menjadi titik balik; Sari kini aktif di klub sains dan bercita-cita menjadi ahli entomologi. Ibu Wati telah menyelamatkannya dari akibat fatal menjadi pribadi yang terasing dan minder.
Narasi ini mengajak kita untuk berhenti sejenak. Sudah cukup kita membeo tips parenting generik. Mari kita "melihat" anak kita---bukan sebagai proyeksi ambisi kita, tetapi sebagai individu utuh. Kita harus menjadi detektif kebaikan dalam diri mereka, menemukan petunjuk dari peta kecerdasan mereka, dan merangkai pujian yang pas.
Mari kita merenung. Saat kita memuji anak kita tadi pagi, apakah pujian itu sekadar gema kosong? Ataukah ia adalah sepucuk surat cinta yang spesifik, yang kita tulis teliti, dan berhasil sampai ke alamat jiwa yang tepat? Jawaban atas pertanyaan itu mungkin akan mengubah masa depan mereka, selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI