Dalam praktiknya, hal ini menuntut peneliti untuk terlibat secara aktif dan reflektif. Ia tidak cukup menjadi pengamat netral, tetapi harus menjadi “penafsir” yang merasakan dan memaknai pengalaman subjek. Misalnya, saat meneliti akuntansi syariah di pesantren, peneliti tidak bisa hanya melihat prosedur pencatatan, tetapi juga harus memahami nilai-nilai spiritual yang melatarinya, seperti keikhlasan, keseimbangan, dan niat ibadah.
c. Epistemologi Ganda Akuntansi
Dari sini lahir gagasan tentang epistemologi ganda akuntansi:
-
Epistemologi luar (positivistik) — akuntansi sebagai sistem pengukuran dan kontrol.
Epistemologi dalam (hermeneutik) — akuntansi sebagai sistem komunikasi dan pemaknaan sosial.
Keduanya tidak harus dipertentangkan, tetapi dipadukan. Pengukuran yang objektif hanya bermakna jika disertai pemahaman terhadap makna yang dihayati oleh manusia di balik angka-angka tersebut.
Dengan kata lain, hermeneutika tidak menolak angka, tetapi menolak pengosongan makna di balik angka. Ia berusaha menghidupkan kembali aspek kemanusiaan dalam akuntansi agar ilmu ini tidak terjebak dalam formalisme teknis. Dengan pendekatan ini, akuntansi menjadi ilmu yang tidak hanya akurat secara data, tetapi juga adil secara moral.
2. Ontologi Hermeneutik : Akuntansi sebagai Ekspresi Kehidupan
a. Ontologi Kehidupan (Das Leben)
Dilthey menolak pandangan bahwa realitas sosial adalah sesuatu yang berdiri di luar manusia. Baginya, realitas sejati adalah kehidupan itu sendiri (das Leben) sesuatu yang terus bergerak, bersejarah, dan sarat makna. Karena itu, ontologi hermeneutik adalah ontologi kehidupan, bukan ontologi benda.
Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa sistem akuntansi bukan sekadar alat netral untuk mencatat realitas ekonomi. Ia adalah bagian dari cara manusia mengekspresikan dirinya. Ketika seseorang mencatat transaksi, membuat laporan, atau menandatangani neraca, ia sebenarnya sedang mengekspresikan nilai-nilai moral, sosial, dan spiritual yang diyakininya.