Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (14. Eksotika Kehidupan Sungai di Sambas Darussalam)

26 Januari 2022   22:08 Diperbarui: 26 Januari 2022   22:15 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dari pictsart app

Anak-anak kecil terlihat bersukacita bermain air tanpa rasa takut sedikitpun di sebuah  jamban yang  mengapung sempurna diatas air. Air berarus deras yang mengalir dari hulu seperti bersenyawa dengan pekatnya air yang berwarna coklat kemerahan mendekati kehitaman. Usia anak-anak itu rata-rata dibawah 10 tahunan. Silih berganti mereka saling kejar, berlari, terjun dan berenang sesukanya. Jantungku berdegup kencang saat menahan ngeri melihat mereka berlompatan dengan berbagai gaya terjun ke air, tetapi herannya anak-anak itu justru  tertawa lepas.  

" Anak kecil berenang saling kejar tanpa takut disungai berarus deras?",  gumamku tanpa sadar. Kemudian secara tidak sengaja didengar oleh Bestari, pengawal lokalku yang duduk persis disamping kananku dalam pelayaran pertamakali mengarah ke hulu sungai.

" Pemandangan biasa saja disini, Tuan Van Dijk!" sahut Bestari datar seolah tahu apa yang sedang kufikirkan atas aktifitas yang barusan kulihat ditepi sungai itu. Mungkin pemandangan biasa saja bagi penduduk lokal disini fikirku membatin, karena ini adalah pengalaman pertamaku berlayar menyusuri hulu sungai Sambas Darussalam.

Udara sejuk menyergap kulit meskipun disiang hari yang terik. Kami melewati beberapa perkampungan kecil yang ditandai dengan keberadaan rumah-rumah yang berada diatas permukaan air mengikut tinggi rendah pasang surut air. 

Rumah apung yang disebut lanting[1] oleh warga lokal tersebut pondasinya berasal dari beberapa jenis pohon lokal seperti ulin (Eusideroxylon zwageri) yang bisa bertahan sampai ratusan tahun, giyam (Cotylelobium spp), takkam(Hopea spp) dan tammau (Cratoxylum cochinchinense). Batang-batang pohon besar tersebut disatukan dengan ikatan yang kokoh sebagai pondasinya.

 Melihat betapa penasarannya aku terhadap rumah lanting-lanting itu, sehingga aku diberikan kesempatan untuk bertamu disalah satu kerabat Bestari dalam perjalanan kehulu.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Meneer!", sahut Bestari sambil tersenyum simpul karena ia tahu aku sangat ketakutan melangkahkan kaki di rumah lanting tersebut yang langsung terasa berayun lembut.

Aku sesaat menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum sendiri, karena takjub sambil berkata kepada Bestari

"Pengetahuan dengan kearifan lokal yang sempurna" fakta langsung yang kubisikkan setengah berbisik didekat telinga Bestari. Ia seorang pemuda lokal yang kemampuan bahasa Belandanya sangat baik. Aku masih berdecak kagum dan berusaha menyelidik lebih jauh rumah lanting itu yang berada ditepian sungai tersebut.

Didalam rumah terapung ini, kembali udara terasa dingin dan segar. Semilir angin sungai seperti bebas keluar masuk melalui pintu dan jendela yang terbuka lebar. Atap yang disusun seperti daun sirih berasal dari daun rumbia telah menahan hangatnya sinar matahari tropis yang terik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun