Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengenal "Empty Nest Syndrome" pada Orangtua dan Cara Mengatasinya!

16 September 2022   14:37 Diperbarui: 16 September 2022   20:11 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sarang kosong| Dok Unsplash.com/Luke Brugger

Apakah yang dimaksud dengan empty nest syndrome atau sindrom sarang kosong?

Seperti apa saja gejala atau ciri-cirinya?

Lalu, bagaimana cara mengatasinya?

Mengenal Empty Nest Syndrome

Pertama-tama akan kita bahas apa yang dimaksud dengan empty nest syndrome. Sindrom ini biasanya merujuk pada kondisi kejiwaan orangtua yang ditinggal pergi dari rumah oleh anak-anak untuk melanjutkan studi atau menikah.

Sindrom sarang kosong (Sumber gambar: birdnature.com).
Sindrom sarang kosong (Sumber gambar: birdnature.com).

Gunarsa (2004) menyebut, empty nest adalah sindrom yang muncul pada sejumlah orangtua akibat adanya perasaan kehilangan dan krisis identitas yang mereka alami setelah anak-anak meninggalkan rumah dan hidup memisahkan diri dari orangtua.

Santrock (2020) mengatakan, sindrom sarang kosong ini pada umumnya terjadi pada dewasa madya, yaitu orangtua yang berusia usia 40-65 tahun.

Gejala yang Muncul

Sindrom ini mewujud dalam bentuk rasa kehilangan, kesepian, kehampaan, dan kecemasan yang diakibatkan oleh kepergian anak-anak dari rumah.

Anak-anak yang sebelumnya selalu dalam pengasuhan dan berada di rumah bersama orangtua kemudian pergi meninggalkan orangtuanya.

Sebetulnya perasaan seperti kehampaan dan kehilangan ini menjadi hal biasa yang dihadapi oleh para orangtua yang ditinggal anak-anaknya.

Gejalanya antara lain, menangis secara diam-diam yang acapkali terjadi pada sang ibu. Bisa juga berwujud kehilangan gairah bekerja, hanya ingin duduk tanpa melakukan apa-apa. Orangtua merasa perannya sebagai orangtua telah berakhir.

Ini akan berlangsung terutama beberapa saat setelah kepergian anak-anak, dan kemudian akan berkurang secara perlahan-lahan bersamaan dengan bergulirnya waktu. Ini akan terjadi kalau orangtua mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada.

Tetapi kalau sindrom ini dirasakan secara terus-menerus bahkan sudah sampai menimbulkan depresi, maka tentu saja mesti dikonsultasikan dengan psikiater atau psikolog.

Merasa tak ada lagi yang diurus dan disayangi di rumah (Sumber gambar:debbiehipster.wordpress.com).
Merasa tak ada lagi yang diurus dan disayangi di rumah (Sumber gambar:debbiehipster.wordpress.com).

Cara Mengatasinya

Lalu, bagaimana upaya orangtua yang mengalami sindrom ini mengatasinya? Mari kita bahas lebih lanjut.

Pertama, menerima kenyataan.

Bahwa perubahan pasti akan terjadi dan terus berlangsung, yang kekal hanyalah perubahan. Kalau sebelumnya orangtua selalu bisa bersama-sama dengan anak-anak: mengasuh, mendidiknya, dan menyayanginya dari dekat, kini tidak bisa lagi.

Tidaklah mungkin bagi orangtua "mengikat" anak-anaknya agar tetap di rumah seumur hidup. Ada saatnya anak mandiri dan menghadapi semua rintangan dan tantangan di hadapannya.

Sejatinya, para orangtua ingin agar anak-anaknya sukses dalam pendidikan dan karier. Salah satu konsekuensinya adalah anak-anak harus meninggalkan rumah demi meraih cita-citanya.

Itulah pada umumnya harapan orangtua. Tetapi, di sisi lain orangtua dengan segera akan merasakan empty nest tatkala ditinggal pergi oleh anak-anak.

Oleh karena itu, tiada pilihan lain selain mengikhlaskan kepergian anak-anak dari rumah, baik untuk melanjutkan studi maupun untuk menikah. Itulah perubahan yang harus dilalui.

Kedua, tetap menjaga komunikasi.

Kendati anak sudah jauh dari rumah, namun dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, komunikasi tetap bisa dilakukan.

Orangtua masih bisa melakukan kontak dengan anak melalui berbagai media yang tersedia, bahkan bisa berembug secara virtual dengan mereka sewaktu-waktu dan secara bersamaan.

Akan tetapi, jangan pula terlalu sering mengontak anak. Ingatlah, mereka juga memiliki kesibukan kerja atau studi yang harus ditanganinya. Terlebih-lebih anak yang sudah berkeluarga dan memiliki anak juga.

Jadi, lakukan kontak seperlunya saja. Hindari juga sampai meminta dan memantau jadwal kegiatan harian mereka, karena ini sungguh akan merepotkan si anak.

Berkomunikasilah secara rutin dengan anak, misalnya 2-3 kali per bulan untuk saling berbagi kabar. Tentu saja ada perkecualian jika ada hal-hal penting yang mesti dibicarakan.

Ketiga, pererat hubungan dengan pasangan.

Selama anak-anak masih berada di rumah mungkin masing-masing orangtua sudah demikian disibukkan oleh pekerjaan dan menguruh anak-anak sehingga intensitas komunikasi dengan suami atau istri menjadi tidak optimal.

Nah, pada saat anak-anak sudah meninggalkan rumah terdapat kesempatan yang luas untuk mengoptimalkan hubungan ini.

Misalnya dengan berlibur atau bepergian bersama, makan bersama, mengunjungi keluarga secara bersama-sama. Dengan demikian, hubungan emosional semakin baik karena tersedia waktu untuk melakukannya.

Keempat, lakukan aktivitas yang positif.

Setelah anak-anak pergi dari rumah, ada waktu lebih banyak untuk beraktivitas secara intens.

Kalau dulu, hanya melakukannya sambil lalu dan ketika ada waktu saja, kini orangtua bisa melakukannya lebih lama dan lebih serius.

Apalagi, misalnya, sudah memasuki masa purna bakti dari pekerjaan, kesempatan menekuni passion sendiri sangat terbuka.

Dengan melakukan aktivitas itu, maka rasa hampa dan rasa kesepian bisa dikurangi. Pikiran akan terfokus pada pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan. Kecemasan pada keadaan terhadap anak yang berada jauh di seberang juga bisa diminimalkan.

Kelima, masuki komunitas.

Keikutsertaan dalam suatu komunitas atau kelompok sangat penting dalam upaya mengatasi empty nest syndrome ini.

Keterlibatan dalam komunitas akan membawa orangtua ke dalam kesuntukan dalam aktivitas kelompok sehingga tidak ada lagi waktu untuk melamun atau bersedih hati.

Komunitas apa yang bisa dipilih? Ada banyak pilihan. Misalnya, komunitas jalan kaki. Ada banyak komunitas seperti ini; ada yang terorganisasi dengan baik, ada juga yang diawali dengan hobi jalan-jalan bersama saja tanpa ikatan.

Misalnya lagi, masuk ke komunitas sembahyang. Komunitas ini sengaja dibentuk untuk menyatukan mereka yang punya keinginan mengisi waktu dengan kegiatan sembahyang ke tempat-tempat suci.

Mereka melakukan persiapan bersama-sama, berangkat dan sembahyang bersama-sama. Usai sembahyang kadangkala diisi dengan acara mengunjungi tempat wisata dan makan bersama.

Ada juga komunitas bersepeda atau gowes. Sepanjang orangtua menyukai kegiatan gowes, ada baiknya ikut dalam komunitas ini.

Di dalam komunitas apapun itu, orang yang terlibat di dalamnya pada umumnya saling bantu, saling mendukung, dan menguatkan antaranggota.

Itulah hal-hal yang bisa dilakukan dalam mengatasi empty nest syndrome. Intinya, relakan kepergian anak, tetap jalin komunikasi dengan mereka, dan pererat hubungan dengan pasangan. Dan, jangan lupa tetap aktif beraktivitas sesuai dengan passion serta ikuti komunitas yang disukai.

(I Ketut Suweca, 16 September 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun