Mohon tunggu...
Dwi Prastyo
Dwi Prastyo Mohon Tunggu... Indonesia

Ekonomi, politik dan sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Bola

Mereka Yang Menuntut Indah

25 Maret 2025   00:55 Diperbarui: 25 Maret 2025   01:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepakbola adalah taman bermain bagi romantisme yang tak kunjung reda. Di dunia ini, kita selalu terjebak dalam fantasi bahwa kejayaan sepakbola harus diraih dengan cara yang sesuai dengan selera estetika tertentu—dengan penguasaan bola yang dominan, permainan menyerang, dan teknik individu yang menawan.

Ikhwal ini sampai juga ke Indonesia. Maka ketika Shin Tae-yong datang membawa revolusi yang lebih menekankan pragmatisme, kedisiplinan, dan kekuatan fisik, muncullah mereka yang merindukan sesuatu yang lebih "indah." Ketika Patrick Kluivert dan barisan staff pelatih dari Belanda diumumkan sebagai pelatih timnas, nostalgia pun meledak seperti petasan di malam takbiran.

"Ini baru pelatih! DNA menyerang! Filosofi sepakbola total!" seru mereka yang selalu terpesona dengan nama besar.

Tapi pertanyaannya, sejak kapan nama besar menjadi jaminan keberhasilan?

Shin Tae-yong datang ke Indonesia bukan membawa janji manis, melainkan kerja keras. Ia mengubah pola pikir pemain, membangun disiplin, dan memperkenalkan level profesionalisme yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Ia tidak peduli dengan permainan indah jika itu tidak membawa hasil. Ia paham bahwa sepakbola bukan soal siapa yang menghibur, melainkan siapa yang menang.

Dalam waktu singkat, timnas Indonesia berubah. Fisik para pemain meningkat drastis, intensitas permainan naik level, dan yang paling penting, ada mentalitas bertarung yang sebelumnya nyaris punah. Hasilnya? Final Piala AFF, melaju ke ronde ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, dan yang paling membanggakan: timnas Indonesia tidak lagi menjadi bulan-bulanan di level Asia.

Lalu datanglah Patrick Kluivert, sosok yang dielu-elukan sebagai pewaris filosofi Johan Cruyff, legenda sepakbola menyerang yang selalu dielu-elukan para moralis sepakbola. Tidak peduli bahwa Kluivert belum pernah memiliki rekam jejak sebagai pelatih utama yang sukses. Tidak peduli bahwa satu-satunya pengalaman melatih timnas adalah manjadi pelatih timnas Curacao. Yang penting, namanya besar. Yang penting, ia pernah bermain untuk Barcelona.

Sepakbola tidak bekerja seperti itu. Jika pengalaman sebagai pemain hebat adalah satu-satunya syarat untuk menjadi pelatih sukses, maka Diego Maradona akan membawa Argentina juara Piala Dunia 2010, dan Andrea Pirlo akan bertahan lebih lama di Juventus.

Tapi kenyataannya, dunia kepelatihan bukan soal nama besar. Ini soal kerja keras, pemahaman taktik, dan yang lebih penting: kemampuan beradaptasi dengan sumber daya yang ada. Shin Tae-yong memahami ini. Ia tidak datang dengan pakem permainan yang harus dipaksakan ke tim yang belum siap. Ia melihat bahwa Indonesia belum memiliki kedalaman skuad yang cukup untuk bermain seperti Manchester City atau Barcelona. Maka ia memilih jalur yang lebih realistis: pressing tinggi, transisi cepat, dan organisasi pertahanan yang solid.

Tentu, gaya bermain ini tidak selalu indah di mata para penggemar sepakbola romantis. Mereka ingin melihat tiki-taka, kombinasi umpan pendek, dan penguasaan bola 70 persen. Mereka ingin timnas bermain seperti tim impian mereka di PlayStation.

Tapi sepakbola bukan game konsol. Di dunia nyata, timnas Indonesia masih dalam tahap membangun fondasi. Memenangkan pertandingan lebih penting daripada memanjakan mata. Shin Tae-yong paham bahwa bertahan dengan baik sama pentingnya dengan menyerang, dan bahwa sepakbola adalah soal efisiensi, bukan soal seberapa banyak passing yang bisa dibuat dalam satu pertandingan.

Mari kita bicara fakta. Di Piala Dunia 1974, Belanda yang bermain indah kalah dari Jerman yang lebih disiplin. Di Piala Dunia 1982, Brasil yang penuh flair dikalahkan oleh Italia yang tahu cara menang. Di level klub, Inter Milan 2010 dan Chelsea 2012 dicemooh karena bermain pragmatis, tapi mereka yang mengangkat trofi.

Apakah sepakbola menyerang itu buruk? Tentu tidak. Tapi apakah itu satu-satunya cara untuk menang? Juga tidak.

Jika ada yang berpikir bahwa Patrick Kluivert akan datang dan langsung mengubah timnas Indonesia menjadi versi mini dari Belanda 1988, mereka harus mengingat bahwa tidak semua tim memiliki pemain seperti Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Mengandalkan filosofi tanpa menyesuaikannya dengan realitas adalah jalan pintas menuju kegagalan.

Dan mari jujur: jika Kluivert datang dan hasilnya lebih buruk dari Shin Tae-yong, apakah mereka yang saat ini mendewakannya masih akan bertahan? Atau mereka akan kembali mencari pelatih baru, mungkin dari akademi Ajax, hanya karena terdengar "Eropa" dan memiliki filosofi yang katanya lebih cocok?

Jika alasan karena pemain kita mayoritas adalah keturunan Belanda yang sejak dini sudah memainkan total football di academy. Maka kita harus bercermin pada laga terakhir kemarin saat kita dibantai 5-1 oleh Australia.

Dalam laga ini, Patrick Kluivert memaksakan menerapkan strategi menyerang dan terbuka. Terbukti malah taktik ini gagal total membuat Martin Paes harus memungut bola dari gawangnya sebanyak 5 kali.

Sebenarnya Belanda pun tidak melulu harus bermain cantik. Pada tahun 2010 dan 2014 saat gelaran Piala Dunia adalah bukti taktik pragmatisme Belanda mampu membawa mereka melaju lebih jauh.

Sepakbola Indonesia tidak membutuhkan ilusi. Kita tidak perlu terjebak dalam obsesi untuk bermain cantik jika itu justru menghambat perkembangan. Kita membutuhkan pelatih yang paham bahwa sepakbola bukan soal keindahan semata, tapi soal hasil.

Jadi jika Anda lebih mengutamakan estetika ketimbang efektivitas, saya sarankan Anda menonton ice skating atau balet. Karena di sepakbola, yang penting bukan seberapa indah permainan Anda, tapi seberapa banyak pertandingan yang bisa Anda menangkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun