Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jokowi, Gibran dalam Narasi Kebencian di Media Sosial

7 April 2024   06:22 Diperbarui: 7 April 2024   06:22 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:antaranews.com

Politik hari-hari ini tidak pernah benar-benar mendingin. Masih saja ada gejolak dari sebagian kecil masyarakat yang mengkaitkan Jokowi, Gibran dan politik dinasti. Masih banyak silang pendapat tentang apa sih sebenarnya dinasti dalam khasanah perpolitikan nasional.

Gambarannya jabatan mirip dengan Raja dalam sebuah kerajaan. Jabatan dapat diwariskan, artinya bisa turun temurun. Benarkah dinasti disematkan oleh masyarakat kepada keluarga Joko Widodo. Suara kebencian, nyinyir, kritik tajam tertuju pada cara-cara berpolitik presiden yang akan mengakhiri jabatan tahun 2024 ini. Saking benci dan bingung bagaimana cara agar Jokowi bisa dimakzulkan sebelum benar-benar lengser pada waktunya, berbagai narasi terus didengungkan di media massa, bahkan ada media arus utama nasional yang selalu menonjolkan jurnalisme oposisi. Selalu membuat berita-berita yang cenderung menyudutkan presiden.

Pro Kontra Dinasti Politik

Dalam KBBI arti Dinasti adalah:"keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga: pemerintah." Yang menjadi dasar netizen atau oposisi menilai Jokowi menjalankan dinasti karena semua anaknya akhirnya terlibat dalam politik aktif. Apakah bisa menjadi dasar bagi asumsi masyarakat bahwa ada upaya terstruktur keluarga Jokowi, terutama, Gibran, Kaesang akan melanggengkan kekuasaan dengan memberi kesempatan mereka ikut kontestasi Pilpres dan Pilkada. 

Media sosial apalagi banyak media yang bergerak dalam pemberitaan selalu mencap negatif langkah-langkah presiden yang terpilih sebagai presiden sejak 2014. Joko Widodo hampir menjalankan jabatan selama 10 tahun. Tahun 2024 adalah tahun terakhir era kepemimpinannya. Lepas dengan segala kekurangannya sebagai pemimpin tertingigi negara, Jokowi boleh dikatakan sukses dalam mempercepat pembangunan infrastruktur. Berbagai prestasi diakui dunia dan Indonesia saat ini termasuk negara yang ekonominya stabil di antara negara-negara yang terjebak dalam inflasi tinggi akibat kritis pangan dan krisis ekonomi akibat bencana Covid 19.  Bagaimanapun tidak boleh disepelekan prestasi presiden yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia. Presiden yang berasal bukan dari kalangan militer pun bukan dari keturunan presiden seperti halnya keluarga Soekarno.

Dinamika politik saat ini menghangat ketika muncul ke permukaan anak-anak Jokowi yang akhirnya terjun di dunia politik. Gibran dipilih dan terpilih dalam pilwalkot sebagai Walikota Surakarta atau Solo. Menantu Joko Widodo juga kebetulan terpilih sebagai wali kota Medan. Pada akhir masa jabatan ketika masa pemilu Kaesang Pangarep pun didapuk sebagai ketua Umum PSI.

Tiba-tiba muncul gejolak politik yang menyeruak ingatan publik ketika banyak orang yang dulu suka dengan langkah Jokowi, kemudian merasa muak dengan segala tindak tanduknya yang membuat kawan menjadi lawan, yang memuja berbalik mencaci. Jokowi Sendiri merasa biasa-biasa dengan langkah politiknya atau disebut orang langkah caturnya yang susah ditebak.

Isu dinasti menyeruak ketika Anak Jokowi menerima pinangan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden pada pemilu 2024. Kebetulan ada yang mengajukan untuk merubah undang-undang yang mengatur umur pejabat publik. Dari yang semula minimal usia 40 tahun kemudian menjadi batas minimalnya 35 tahun. Kebetulan usia Gibran baru 36 tahun. Dengan terbukanya kesempatan untuk menjadi pejabat publik selevel Pesiden dan wakil presiden, Prabowo dan kubunya akhirnya memilih Gibran yang semula tidak diperhitungkan.

Tiba tiba peta politik berubah. PDIP partai yang membesarkan Jokowi dan mengusung Gibran sebagai Walikota seperti mencium aroma pengkhianatan. Keluarga Jokowi selanjutnya seperti dikucilkan dalam partai berlambang Banteng bermoncong putih dengan tatapan penuh amarah tersebut. Dalam media sosial yang saya ikuti PDIP menjadi terdepan yang terus menyerang langkah-langkah senyap politik Jokowi hingga akhirnya memuncak ketika Pilpres dan Pileg menghasilkan pemenang Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dengan nomor peserta 02. PDIP merasa ditusuk dari belakang oleh keluarga Jokowi, isu anak haram konstitusi, pemenang tidak sah karena tidak melalui mekanisme konstitusi yang normal dan berbagai wacana hingga akhirnya digambarkan Jokowi dan keluarganya digambarkan sebagai public enemy, Politik Demagog, Pelanggar kostitusi, Nepotisme, Keluarga gila kekuasaan, licik dan sematan lainnya yang mengerikan kalau dipikirkan.

Tentang Strategi Politik Jokowi

Benarkah diam-diam Jokowi adalah politisi dengan aneka sematan mengerikan tersebut. Sampai saat ini langkah politik Jokowi belum bisa dibaca secara tuntas. Masih asumsi masih narasi, masih dugaan. Narasi, artikel dan data-data tentang kecurangan masih sebatas opini. Gambaran sebagai pemilu terbrutal dan juga suara-suara kebencian orang-orang yang mengaku penjaga etika, penjaga demokrasi, penjago politik santun, konsisten berjuang di jalur konstitusi, demokrasi dari rakyat belum terbukti secara valid.

Dinasti sebagaimana jabatan adalah penunjukan langsung, turun temurun melekat karena kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, diktatornya pemimpin karena mendominasi jabatan publik belum terbukti. Gibran menjadi walikota melalui mekanisme pemilihan umum. Bisa saja gagal jika masyarakat tidak menghendakinya. Nyatanya Gibran sukses melenggang menjadi wali kota dan secara fakta ketika ia menjabat banyak jejak pembangunan masif dengan memanfaatkan anggaran yang ada serta dibantu dengan lingkaran pergaulan dan latar belakangnya sebagai pengusaha dengan memanfaatkan CSR (bantuan korporat pengusaha).

Solo berbenah dan semakijn cantik berbagai terobosan, kreatifitas pemimpinnya menjadikan Solo mempunyai daya tarik untuk dikunjungi. Level sebagai kota toleran meningkat signifikan, Solo yang tertata dengan pergerakan UMKM yang dinamis membuktikan Gibran cukup sukses meskipun baru menjabat sekitar3 tahun. Kemudian Gibran banyak dilirik politisi agar menjadi pendampingnya dalam kontestasi Pilpres. Anies Baswedan pernah mendekatinya, Muhaimin pernah memuji jejak kepemimpinannya, demikian Ganjar sering sekali kerjasama dengan Gibran.

Namun semua berubah ketika menjadi lawan dalam adu kekuatan Pilpres. Mesin politik bergerak, aneka trik untuk menjegal lawan dengan wacana anak haram konstitusi, pelanggar HAM, Politik Dinasti, hingga suara-suara yang berusaha memakzulkan Jokowi, mengaitkan kebijakan bansos sebagai biang kekalahan lawan yang tidak didukung lingkaran kekuasaan.

Ketika pengumuman Pemilu tiba dan Quick Count memutuskan kemenangan Prabowo Gibran maka kubu yang kalah dalam hal ini 01 ( Anies Baswedan Dan Muhaimin Iskandar /Cak Imin ) . kubu 03 (Ganjar Pranowo dan Mahfud MD merasa ada upaya kecurangan TSM ( terstruktur, Sistematis dan Masif). Maka perlu menggugat ke MK sebagai satu-satunya kesempatan untuk membatalkan kemenangan kubu 02 yang secara telak mememangkan Pemilu dengan prosentasi sekitar 58 persen, melawan 24 persen dan 16 persen. Maka kemenangan satu putaran pun diraih 02.

Sampai saat ini pihak 03 dan 03 dengan usaha gugatan lewat MK masih bekerja. Masih yakin akan memenangkan perkara di MK dengan keyakinan bahwa pemilu kali ini adalah gambaran kecurangan yang dibantu lingkaran kekuasaan. Dalam hal ini sebenarnya gugatan sebenarnya ditujukan kepada pimpinan negara yaitu Joko Widodo. Yang paling antusias adalah Ganjar Pranowo yang merasa suaranya digembosi dan merasa tidak percaya mengapa hasil Pilpres berbeda jauh dengan hasil legislatif.

Sidang-sidang berlangsung dramatis dengan pengacara-pengacara yang biasa malang melintang dalam lingkaran kekuasaan. Mereka sangat hapal kekurangan dan kelebihan hukum di Indonesia, sangat tahu celah-celah peluang hukum dan kemungkinan hasil akhirnya, namun sidang berlangsung dengan mendatangkan . menteri, staff ahli, rohaniwan, saksi pelapor, saksi lucu yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Dari situ mereka yang mengikuti sidang mempunyai kesimpulan sendiri. Netizen, masyarakat yang sudah berada dipihak yang berseberangan dengan Jokowi terus menarasikan bahwa semua berawal karena Presiden cawe-cawe. Coba kalau Presiden tidak campurtangan, coba kalau Gibran dilarang mengikuti kontestasi, coba kalau Keluarga Jokowi tidak berkianat kepada partai yang membesarkannya.

Menanggap Bijak Isu Isu Di Media Sosial

Opini itu seperti membelah suara masyarakat, membuat relasi pertemanan menjadi renggang, hubungan perkawanan yang semula biasa-biasa saja memanas ketika terjadi perang narasi  yang menggambarkan tentang Jokowi. Yang terlanjur membenci Jokowi pasti tidak akan membiarkan celah kebenaran hadir. Apa yang dilakukan Jokowi selalu salah. Bahkan banyak gambaran negatif muncul dengan meme-meme yang beredar di media sosial, video pendek yang berusaha menggiring opini masyarakat untuk membenci pemimpin negaranya dengan gambaran mengerikan masa depan Negara jika dipimpin oligarki. Kegilaan kekuasaan yang akan memunculkan dinasti kekuasaan. Kerakusan yang diblowup dengan hiperbolis.

Benarkah Jokowi telah berubah, benarkah Jokowi tidak lagi merakyat, benarkah Jokowi telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai berpotensi dimakzulkan? Sampai saat belum ada bukti valid bahwa Jokowi menyimpang yang memperkuat arus pemakzulan. Tingkat kepuasan publik pada jejak prestasi Jokowi masih tinggi, Inflasi, neraca utang negara masih wajar bahkan lebih tinggi dari negara-negara tetangga. Indonesia masuk jajaran 20 negara maju dengan pendapatan tinggi. Meskipun banyak oposisi yang melihat bahwa penegakan hukum, HAM, demokrasi mengalami titik terendah, namun tidak seburuk ketika zaman orde baru yang dengan mudah orang dijebloskan ke penjara akibat terlalu vokal dan melawan kebijakan pemerintah. Bahkan menurut saya suara nyinyir, ejekan-ejekan yang mengarah ke fisik, tuntutan tuntutan aneh di media sosial Indonesia masih aman, tidak mendapat tekanan berlebihan dari pemerintah. Demo yang berlangsung hampir setiap hari, pidato-pidato yang mendiskreditkan penguasa masih bebas berlangsung, bagaimana bisa menilai bahwa pemerintah terkesan diktaktor.

Memimpin ratusan juta orang dengan sudut pemikiran berbeda itu tidak gampang, kalau ada sekitar 10 sampai 15 persen masyarakat yang merasa kurang mendapat perhatian merasa dibedakan itu wajar karena bagaimanapun masyarakat bebas memilih siapa pemimpinnya. Kalau ada perbedaan itu masih normal, kecuali dengan adanya silang pendapat terutama di media sosial memunculkan perpecahan antar suku, bangsa dan memunculkan pemberontakan yang berpotensi anarkhis masa negara harus tegas menengahi. Pedang kekuasaan harus tegas memutus rantai yang berpotensi memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa. Kalau "hanya" suara-suara sumbang pegiat sosial, netizen anggaplah sebagai dinamika politik. Nyatanya di dunia nyata diskusi tentang politik atau apapun masih belum memunculkan potensi chaos politik. Masyarakat yang bekerja keras masih mendapat kesempatan untuk meraup rejeki, mereka yang kreatif selalu mendapatkan peluang untuk menghasilkan uang, kecuali yang malas dan hanya nyinyir tanpa usaha maka sulit mereka berkembang di tengah tantangan zaman yang semakin keras.

Ada usaha, ada kemauan pasti ada jalan, begitu khan. Lihat saja di pusat kota, di jalan-jalan usaha masyarakat untuk bertahan hidup. UMKM, kaki lima, pemulung, content creator bisa menangguk untung besar bila jeli menangkap peluang.  

Narasi kebencian,  nyinyir akan gugur dengan sendirinya bila ternyata tidak ada bukti valid yang bisa meyakinkan masyarakat bahwa Jokowi telah berubah. Bukan membela tapi penulis mencoba menganalisis situasi dengan nalar. 

Dan  masalah etika, sebenarnya akan terpola bila dalam keluarga kecil sudah dibiasakan untuk menerapkan pola perilaku disiplin, sopan santun, menghormati orang lain. Menjaga wicara, menjaga kata dalam berpendapat. Ada rasa prekewuh bila berkata kasar.  

 Salam Damai Selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun