"Hakhak... bukan gak boleh bos, cuma kutengok kau ini kurang mawas diri! Cok kaupikir baik-baik... yakin kau nanti bisa melukis wajah secantik foto itu? Semakin enggak mirip semakin jeblok nilai kau nanti, bos! Percumalah pakai foto cantik-cantik kalau bikin nilai Seni Rupa kau berdarah-darah!"
"Iya Pris, bener tuh kata Mondang! Susah lho melukis wajah cantik dengan berambut panjang berombak-ombak begitu," kata Nia turut mengomentari foto Priska.
"Kecuali fotomu itu boleh dilukis sama Trias. Dia kan jago banget bikin lukisan realis." komentar Nia sambil menunjuk Trias dan Olin yang baru memasuki ruang ganti.
"Heii apaan nih nama gue disebut-sebut?" teriak Trias sambil berlari mendekat.
"Ini lho foto baru Priska untuk tugas lukisan terlalu cantik. Mana rambut panjangnya yang berombak-ombak itu digerai lagi!" seru Karen yang baru keluar dari toilet.
"Tunggu, kalian bicara tentang apa, sih? Foto baru, rambut panjang, cantik, melukis, nilai seni rupa... apaan nih?" tanya Olin gusar.
Olin berusaha mendesak ke tengah ruang ganti yang tidak terlalu luas itu. Wajahnya tampak bingung tidak memahami topik yang dibicarakan temantemannya.
"Oiyaa, Rabu minggu lalu Olin kan absen!" Karen menepuk jidatnya sendiri.
"Ada tugas apa sih Yas?" tanya Olin lebih kepada Trias, teman sebangku sekaligus tetangga satu kompleks.
Trias yang ditanya ternyata sudah masuk ke toilet.
"Olin belum tahu? Besok pas pelajaran Seni Rupa kita disuruh melukis potret diri. Minggu lalu Pak Pur sudah menyuruh kita cetak foto masing-masing berukuran kartu pos," detail Hasna menjelaskan dengan lembut.