Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lukisan Cinta Pertama Olin

17 November 2020   10:56 Diperbarui: 17 November 2020   11:04 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: cottonbro -- www.pexel.com

Tiupan peluit panjang menghentikan permainan basket yang sebenarnya sedang seru. Tanpa komando dua kali dari Pak Dewan, anak-anak 8C segera berbaris. Usai memberi salam mereka segera membubarkan diri dan berlarian ke ruang ganti.

Mereka yang bergegas biasanya hendak menyiapkan pelajaran berikut usai jam istirahat. Lebih tepatnya, menggarap PR Matematika yang belum dikerjakan di rumah. Pak Kandar, guru yang terkenal paling killer di SMP mereka itu tidak pernah berkompromi pada anak-anak malas.

Sembari berjalan ke ruang ganti Olin melirik rombongan cowok yang berjalan ke arah ruang kelas. Sebagian besar cowok memang lebih suka ganti baju di ruang kelas, terutama bagi mereka yang belum mengerjakan PR Matematika. Lagipula untuk ganti baju biasanya cowok tidak seribet cewek.

Olin mencari-cari sosok Rafa yang biasanya terlihat paling tinggi, menjulang di antara teman-teman lain. Itu dia! Ekor matanya menemukan Rafa tengah bercanda dengan Soni dan Hendra. Sesekali tampak dia mengibas-ngibaskan rambut lurusnya yang basah oleh keringat.

Di benak Olin melintas kembali keseruan permainan basket beberapa menit yang lalu. Berkali-kali Rafa berhasil melakukan tembakan tiga angka. Tidak satu pun gagal. Hebat! Riuh tepuk tangan dan teriakan histeris para cewek seakan-akan membahana ke segenap penjuru ruang olahraga indoor. 

Dalam hati Olin sedikit menyesali sikap Rafa. Ah, sayang Rafa terlalu angkuh untuk melihat ke pinggir lapangan. Andai saja dia melihatku bersorak penuh dukungan, penuh semangat, dan penuh cin... .

Lamunan Olin terpotong oleh tepukan keras di bahu yang membuatnya terlonjak.

"Hayooo... ngeliatin siapa?" sergah Trias.

"Aduh Trias, kebiasaan deh!" seru Olin seraya membalas tepukan Trias, "Bisa gak sih kalau enggak bikin orang lain jantungan? Gimana kalau aku sampai pingsan?"

"Silahkan ajah pingsan! Nanti langsung kupanggil Rafa biar kasih napas buatan ke elo," balas Trias santai sambil cengengesan.

"Sssst... apaan sih kamu!" Olin mencubit lengan Trias.

"Ngaku aja, elo suka sama Rafa, kan? Ye, kaan?"

"Ah kamu memang suka mengada-ada!" balas Olin berusaha mengelak tatapan Trias untuk menyembunyikan perasaannya.

Sambil masih saling berdebat, keduanya bergegas ke ruang ganti. 

***

Dari kejauhan terdengar percakapan seru di ruang ganti cewek. Suara genit Priska, suara lembut Hasna serta celotehan Nia, Mondang, dan lain-lain seolah-olah berebut menembus dinding ruang ganti mengajak Trias dan Olin untuk segera masuk.

"Hoi, kalian dah pada nyiapin foto belum? Kemarin gue sudah bikin foto baru lho!" seru Priska sambil mengeluarkan foto portrait dari dompetnya. Serentak semuanya mendekat dan berebut ingin melihat foto di tangan Priska.

"Priska kamu cantiiik pisan!" puji Hasna dengan nada tulus.

"Alamak, cantik kali kau Pris!" Mondang mengambil foto dari tangan Hasna dan berkomentar dengan logatnya yang khas, "Tapi saranku janganlah kau pakai foto ini untuk tugas Seni Rupa!"

"Iri bilang booos!" seru Priska sembari merebut kembali fotonya, "Emang salah kalau gue pingin kliatan cantik di tugas lukisan potret?"

Mondang tertawa lepas sambil menepuk-nepuk bahu Priska yang mendadak menunjukkan wajah cemberut.

"Hakhak... bukan gak boleh bos, cuma kutengok kau ini kurang mawas diri! Cok kaupikir baik-baik... yakin kau nanti bisa melukis wajah secantik foto itu? Semakin enggak mirip semakin jeblok nilai kau nanti, bos! Percumalah pakai foto cantik-cantik kalau bikin nilai Seni Rupa kau berdarah-darah!"

"Iya Pris, bener tuh kata Mondang! Susah lho melukis wajah cantik dengan berambut panjang berombak-ombak begitu," kata Nia turut mengomentari foto Priska.

"Kecuali fotomu itu boleh dilukis sama Trias. Dia kan jago banget bikin lukisan realis." komentar Nia sambil menunjuk Trias dan Olin yang baru memasuki ruang ganti.

"Heii apaan nih nama gue disebut-sebut?" teriak Trias sambil berlari mendekat.

"Ini lho foto baru Priska untuk tugas lukisan terlalu cantik. Mana rambut panjangnya yang berombak-ombak itu digerai lagi!" seru Karen yang baru keluar dari toilet.

"Tunggu, kalian bicara tentang apa, sih? Foto baru, rambut panjang, cantik, melukis, nilai seni rupa... apaan nih?" tanya Olin gusar.

Olin berusaha mendesak ke tengah ruang ganti yang tidak terlalu luas itu. Wajahnya tampak bingung tidak memahami topik yang dibicarakan temantemannya.

"Oiyaa, Rabu minggu lalu Olin kan absen!" Karen menepuk jidatnya sendiri.

"Ada tugas apa sih Yas?" tanya Olin lebih kepada Trias, teman sebangku sekaligus tetangga satu kompleks.

Trias yang ditanya ternyata sudah masuk ke toilet.

"Olin belum tahu? Besok pas pelajaran Seni Rupa kita disuruh melukis potret diri. Minggu lalu Pak Pur sudah menyuruh kita cetak foto masing-masing berukuran kartu pos," detail Hasna menjelaskan dengan lembut.

"Aduh! Kalian kok enggak ada yang kasih tahu aku, sih?" Olin membalas dengan nada kecut.

"Soridorimoriiii Olin..., kami beneran lupa! Kami kira Trias sudah ngasih tahu. Kalian kan tetanggaan," teriak Karen dengan gaya teaternya.

Melihat lucunya gaya Karen yang membungkuk takzim kepadanya, Olin pun kembali tersenyum. "Iya, makasih ya!"  

"Santai aja kali Bu, sekarang kan masih Selasa. Pakai foto seadanya aja. Jangan ikut-ikut si Priska. Foto dia mah terlalu cantik!" kalimat Rosi membuat Priska melotot.

***

"Siapkan kertas dan peralatan gambar kalian!" suara Pak Pur membahana, "Pegang foto kalian masing-masing. Sebelum kalian melukis, saya akan periksa satu per satu. Mereka yang pinjam foto orang lain, silakan keluar kelas sebelum saya jewer!"

Sambil beranjak dari singgasananya Pak Pur membuka Pelajaran Seni Rupa dengan wejangan rutin, "Jangan sepelekan pelajaran Seni Rupa! Matematika dan Seni Rupa itu memiliki kedudukan sama penting. Suka atau tidak, kalian harus ikuti pelajaran saya dengan serius, tidak seenaknya saja. Seni itu berguna untuk keseimbangan perkembangan otak kalian. Matematika dipikirkan otak kiri, sedangkan seni diolah di otak kanan." 

Belum tuntas Pak Pur berkeliling kelas, Rinto dan Doni sudah menyatakan diri bersalah. Keduanya keluar dari kelas tanpa diminta. Ternyata Rinto dan Doni meminjam foto anak kelas sebelah.

"Yang fotonya sudah saya periksa, silakan mulai melukis!" seru Pak Pur lagi.

Dalam sekejap ruang kelas 8C pun senyap. Setiap anak dengan serius mencermati foto masing-masing dan mulai memindahkannya ke dalam kertas gambar.

Meskipun tidak terlalu terampil, dengan percaya diri Olin melukis wajah chic-nya dengan rambut lurus berponi. Dengan susah payah dilukisnya mata, hidung, dan bibirnya dengan teori-teori melukis yang pernah diajarkan Pak Pur.

Namun, alih-alih mencermati fotonya, Olin lebih sering melihat ke sudut kelas di mana Rafa duduk. Sejak kemarin bunga-bunga dan balon berwarna pink terus bermunculan di hati dan benaknya.

***

Selama jam pelajaran Pak Pur terus saja asyik berkeliling melihat satu per satu muridnya. Sesekali dia memberi petunjuk dan mengingatkan teori-teori melukis. Sampai di sisi Olin, Pak Pur diam cukup lama mengamati lukisan Olin.

"Lin, kamu pegang foto siapa?" tanya Pak Pur tiba-tiba.

"Foto saya sendiri Pak! Kan tadi sudah Bapak periksa," jawab Olin seraya menghentikan gerakan pensil gambarnya dan mendongak ke arah Pak Pur.

"Nah itu... kenapa kamu malah menggambar wajah Rafa?"

Olin tersentak. Refleks dia menatap lekat-lekat lukisannya yang hampir selesai. Dia berpikir keras. Tanpa melihat lagi foto di tangannya, dia yakin gadis berponi itu adalah potret dirinya. Kenapa Pak Pur bilang itu lukisan wajah Rafa? Ah, pasti Pak Pur aja yang salah lihat, batin Olin menenangkan diri.

"Bener kata Pak Pur, lukisanmu lebih mirip Rafa," bisik Trias yang duduk di sebelah Olin, "Hayooo... beneran kamu naksir, kan?"

"Pantaslah! Kutengok dari tadi si Olin tuh lihat ke arah Rafa mulu!" Mondang yang duduk di seberang Trias ikut berkomentar. 

Wajah Olin merah padam. Dia mulai ragu dengan lukisannya sendiri.

"Rafa, coba Bapak pinjam fotomu!" seru Pak Pur

Rafa pun mendekat ke meja Olin dan menyerahkan fotonya pada Pak Pur. Sementara, Olin hanya bisa tertunduk. Jantungnya berdetak lebih kencang menyadari Rafa ada di dekat Pak Pur dan bisa melihat lukisannya.

"Olin, coba amati foto Rafa dan fotomu, kemudian lihat lukisanmu. Lebih mirip siapa?" kata Pak Pur.

Olin menerima foto Rafa yang disodorkan Pak Pur. Dengan rasa jengah ia mulai mengamati foto cowok yang belakangan ini memenuhi kepalanya. Kemudian ia beralih melihat fotonya sendiri, lalu membandingkan dengan lukisannya.

Betapa terkejutnya Olin mengetahui kebenaran pendapat Pak Pur dan Trias. Lukisan portrait pada kertas gambarnya memang lebih mirip Rafa ketimbang dirinya.

Kok bisa ya? Duh, jangan-jangan benar kata Mondang! Memang selama melukis tadi aku selalu mencuri-curi pandang ke arah Rafa, sedang di kepalaku pun penuh bayangan si jago basket itu. Duh, jadi ketahuan deh! Batin Olin berkecamuk.

"Lin, elo naksir Rafa ya?" teriak Vera yang duduk di seberangnya.

Suara Vera yang cukup kencang sontak membuat kelas riuh rendah. Beberapa cowok mulai bersiul-siul, sedangkan cewek-cewek bertepuk tangan sambil berteriak menggoda.

"Cie...cie... Olin!"

"Eh, Rafa kan naksir elo juga," teriak yang lain.

Bukan malu, Rafa malah nyengir kuda. Lantas dibuatnya selebrasi seperti kalau berhasil memasukkan bola dari titik tiga angka.

"Semua diam!" teriak Pak Pur tegas hingga membuat kelas senyap dalam sekejap.

Pak Pur mengambil foto Rafa dari tangan Olin dan mengembalikannya pada Rafa. "Tapi kalau Bapak lihat-lihat, wajah kalian memang mirip sih!" kata Pak Pur seraya tersenyum penuh arti, "Ya sudah tidak apa-apa, lanjutkan saja!"

Senyuman dan kalimat Pak Pur membuat Olin dan Rafa saling melirik dengan wajah merah padam.

Kata orang-orang kalau wajah mirip itu mungkin berjodoh, batin Olin senang. Hatinya semakin berbunga-bunga. Indahnya cinta pertama.

[Selesai]          

Depok, 17 November 2020

Salam Fiksiana, Dwi Klarasari 

             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun