Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali Bebas (Bagian 2 - Tamat)

6 Oktober 2020   10:14 Diperbarui: 6 Oktober 2020   11:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Franz W -- pixabay.com (dengan perubahan warna)

Begitulah pancaran raut mukanya, terbaca saat dia membanting ponselnya. Selama di  ruang bundar sepanjang sore tadi entah sudah berapa kali aku melihat kemarahannya. Meskipun bulan mati belum lagi berlalu, dia gusar mengingat rencana pada purnama nanti.

Gembira rasanya hatiku ini melihat kegusaran Prawiro. Maaf jika kubilang bahwa keresahan Prawiro menjadi bahagiaku. Batalnya eksekusi perambahan pada purnama nanti adalah sedikit momen kemenangan. Kuharap kalian pun sepakat.

Ketika sedang kubayangkan hijaunya kembali tanah kelahiranku, tiba-tiba jauh dari arah belakang rumah terdengar suara berderak sangat keras. Saking kerasnya hingga menyerupai bunyi benda berton-ton menerjang dinding, juga seperti bangunan yang tercerabut dan runtuh dalam waktu bersamaan.

Seketika lampu ruangan padam. Ruang bundar menghitam. Kekacauan tersebut disusul oleh keributan dari berbagai penjuru rumah Prawiro. Teriakan minta tolong bersahut-sahutan memilukan.

"Toloong! Papaaa... Mama belum mau matiii!"

Sempat kudengar jerit kesakitan seperti milik wanita si juragan. Entahlah, mungkin sesuatu yang sangat kuat menjepitnya. Posisiku sendiri sudah mulai tidak stabil.

Si juragan seperti sedang lari tergopoh seraya menyahut, "Tunggu Ma, Papa ambil dulu kotak brank... !"  

Entah kenapa sahutan si juragan itu tidak berlanjut. Belum selesai kupikirkan penyebabnya, aku dikejutkan oleh gelombang air yang menerjang ruang bundar. Badan besarku yang sudah tidak stabil mendakak terhempas membentur dinding. Dalam seper sekian detik dingin air telah menyelimuti seluruh tubuhku.

"Tol... oong! Ampuuun.. tob... tobat Gustiii!" 

Aku mendengar suara berlogat Jawa, lirih timbul-tenggelam. Bisa kupastikan itu adalah jeritan Mbok Nah, pelayan yang biasa mengantar minuman kalau ada tamu di ruang bundar. 'Silakan diminum Tuan', demikian kalimat yang selalu keluar dari bibir rapuhnya.

Tiba-tiba getaran bibir dan gemeletuk gigi kudengar begitu dekat dengan tubuhku. Rasanya Mbok Nah ada di sekitarku. Kemudian tanpa kusadari tangan keriput Mbok Nah sudah bergayut kuat pada kaki-kakiku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun