Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali Bebas (Bagian 2 - Tamat)

6 Oktober 2020   10:14 Diperbarui: 6 Oktober 2020   11:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Franz W -- pixabay.com (dengan perubahan warna)

Silakan Baca bagian sebelumnya: Kembali Bebas (Bagian 1)

Aku tak pernah rela kehidupanku dirampas secara hina karena aku juga makhluk-Nya yang berharga. Acap kali aku ingin menggugat Tuhan. Kenapa Sang Pemberi Hidup yang dikenal Mahamurah itu tidak menganugerahiku kemampuan agar aku dapat melawan? Tidak sedikit pun bahkan untuk sekadar mempertahankan diri.

Ketika itu kawan-kawanku yang selamat-meskipun hanya sementara-menangisi kepergiaanku dalam kebisuan. Sebenarnya mereka pun memeram rasa takut bila kelak mengalami nasib serupa. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain berpasrah.

Bagaimanapun kehidupan ini milik Yang Maha Kuasa.

Aku percaya takdir. Namun, benarkah terpenjara dan menua di "neraka" rumah Prawiro menjadi takdirku? Dahulu saat beranjak dewasa aku yakin takdirku menjadi berguna bagi dunia yang indah ini. Jika tidak, kenapa Tuhan memberiku banyak kelebihan? Ya banyak, kecuali untuk dapat bertahan dari orang-orang jahat seperti Prawiro.

Mungkinkah Tuhan telah mengubah takdirku? Ataukah penjahat seperti Prawiro mampu mengubah takdir Tuhan? Sungguh, aku tak habis pikir. Rasanya saat ini aku menjadi maakhluk tak berguna. Andai bisa kurangkai kata, akan kutulis sepotong memoar yang menera tebal nama Prawiro terikut seluruh kejahatannya.

Aku tahu segalanya perihal Prawiro. Dia bukan masyarakat kebanyakan. Dia warga terhormat, satu di antara kaum pejabat, dan tanah tempat tinggalku dulu ada di bawah kuasanya. Semenjak dia berkuasa apa pun yang diingini pasti didapatnya. Sekali pun sesuatu itu diharamkan atau terlarang. Semua bawahannya menjilat dengan menjura memberi hormat, meskipun mereka tahu bahwa dia manusia laknat.

Semasa aku masih tinggal di perbukitan, sejumlah kejahatan Prawiro kudengar dari bisikan angin yang dikirimkan lewat dedaunan. Dinding-dinding bukit pun tak tinggal diam. Jerit sunyi para korban digaungkan sepanjang waktu.

Sejak terpenjara di rumah ini, segalanya bahkan kudengar lebih nyata. Seluruh pori-pori di tubuhku telah merekamnya hingga mengkristal kemarahan. Sepanjang pengetahuanku, di ruang bundarnya Prawiro dan segenap kroninya-entah siapa saja-biasa menghabiskan hidangan nikmat sembari membahas niat jahat. Banyak kejahatan, termasuk menggunduli hutan-hutan perawan.

***

Bukan Balas Dendam

Semua perkara tak selalu seturut asa. Kemarau yang semestinya datang sebulan lalu tak kunjung tiba. Apa lacur, sekali dua hari bumi basah walau sekadar oleh gerimis. Kini berhari-hari sudah hujan lebat mendera bumi hingga menciptakan kabut hitam di hati si juragan hingga resah tak berkesudahan.

Begitulah pancaran raut mukanya, terbaca saat dia membanting ponselnya. Selama di  ruang bundar sepanjang sore tadi entah sudah berapa kali aku melihat kemarahannya. Meskipun bulan mati belum lagi berlalu, dia gusar mengingat rencana pada purnama nanti.

Gembira rasanya hatiku ini melihat kegusaran Prawiro. Maaf jika kubilang bahwa keresahan Prawiro menjadi bahagiaku. Batalnya eksekusi perambahan pada purnama nanti adalah sedikit momen kemenangan. Kuharap kalian pun sepakat.

Ketika sedang kubayangkan hijaunya kembali tanah kelahiranku, tiba-tiba jauh dari arah belakang rumah terdengar suara berderak sangat keras. Saking kerasnya hingga menyerupai bunyi benda berton-ton menerjang dinding, juga seperti bangunan yang tercerabut dan runtuh dalam waktu bersamaan.

Seketika lampu ruangan padam. Ruang bundar menghitam. Kekacauan tersebut disusul oleh keributan dari berbagai penjuru rumah Prawiro. Teriakan minta tolong bersahut-sahutan memilukan.

"Toloong! Papaaa... Mama belum mau matiii!"

Sempat kudengar jerit kesakitan seperti milik wanita si juragan. Entahlah, mungkin sesuatu yang sangat kuat menjepitnya. Posisiku sendiri sudah mulai tidak stabil.

Si juragan seperti sedang lari tergopoh seraya menyahut, "Tunggu Ma, Papa ambil dulu kotak brank... !"  

Entah kenapa sahutan si juragan itu tidak berlanjut. Belum selesai kupikirkan penyebabnya, aku dikejutkan oleh gelombang air yang menerjang ruang bundar. Badan besarku yang sudah tidak stabil mendakak terhempas membentur dinding. Dalam seper sekian detik dingin air telah menyelimuti seluruh tubuhku.

"Tol... oong! Ampuuun.. tob... tobat Gustiii!" 

Aku mendengar suara berlogat Jawa, lirih timbul-tenggelam. Bisa kupastikan itu adalah jeritan Mbok Nah, pelayan yang biasa mengantar minuman kalau ada tamu di ruang bundar. 'Silakan diminum Tuan', demikian kalimat yang selalu keluar dari bibir rapuhnya.

Tiba-tiba getaran bibir dan gemeletuk gigi kudengar begitu dekat dengan tubuhku. Rasanya Mbok Nah ada di sekitarku. Kemudian tanpa kusadari tangan keriput Mbok Nah sudah bergayut kuat pada kaki-kakiku. 

Gelombang air yang sangat kuat menyeretku, tepatnya menyeret aku dan Mbok Nah. Luar biasa! Kami terseret bersama rumah megah yang selama ini menjadi penjara bagiku. Tubuhku terombang-ambing dalam air lumpur yang bergulung-gulung menyambar apa pun.

Beginilah rupanya yang dinamai banjir bandang! Bisa kupastikan banjir ini datang dari hulu sungai di mana kampungku berada, di mana terbentang onggokan perbukitan gundul sejauh mata memandang. 

Apakah ini balasan atas kejahatan Prawiro dan kroninya? Balasan oleh tanah dari mana aku dan kawan-kawanku terenggut. Inikah bantuan semesta atas balas yang tak mampu kami lakukan?

Tidak! Bukan! Balas dendam bukanlah perangai alam semesta. Tolong, dengar pendapatku! Bagi alam, kata 'balas dendam' teramat merendahkan. Alam senantiasa memberi tanpa pernah meminta kembali. Banjir ini bukan sebuah balas dendam.

Tanah di mana aku pernah berpijak hanya tidak sanggup lagi menampung guyuran air yang sangat berlimpah. Perbukitan gundul tanpa pepohonan berakar kuat laksana sosok kekar yang sebenarnya rapuh.

Lama sekali aku dan Mbok Nah terombang-ambing dalam air bah yang semakin melemah. Getaran benda-benda yang saling bertabrakan telah berkurang. Jerit tangis serta teriak minta tolong pun nyaris tak lagi terdengar.

Senyap melengkapi kelam yang sangat pekat. Gelap membuatku tak tahu arah. Satu saja yang kutahu, yaitu tubuh lemah Mbok Nah perlahan terdampar di atas badanku. Tangannya sangat erat mencengkeram tepian tubuhku. 

***

Tubuhku terdampar di bantaran sungai. Kanan-kiri penuh segala macam benda. Berpuluh kayu log melintang di sana-sini. Puluhan jasad bergelimang kaku mengenaskan. Meski aroma kesedihan membalut kuat, pagi ini biru langit dan sinar matahari terlihat bersahabat. Keduanya menyadarkan aku di mana kami berada.

Kini aku berada di alam terbuka, tidak lagi tersandera di ruang bundar rumah Prawiro. Aku kembali bebas! Bebas menyapa mentari yang lama kurindui. Bebas menikmati keindahan yang kukira takkan kutemui lagi. Ganas gelombang telah membebaskan aku dari neraka, tempat tinggal manusia durhaka. Meski aku tak lagi sempurna, kebebasan ini tetaplah sebuah kebahagiaan. 

"Bu... Bu... Ibu bisa mendengar kami?"

Kulihat seorang petugas berseragam oranye berulang kali menggoyang-goyangkan tubuh Mbok Nah yang tengkurap lemas di atas tubuhku. Kedua tangannya masih erat memegang tepian tubuhku. Saat petugas itu berniat menyentuhnya sekali lagi, mata tua Mbok Nah perlahan terbuka. Lama dia terdiam, sebelum hela napasnya yang semakin jelas melegakan sang petugas.  

"Matur sembah nuwun Gusti kula dipun paringi slamet!" Mbok Nah merentangkan tangan sembari tengadah.

Syukurlah, ternyata Mbok Nah masih hidup. Beberapa petugas segera membantunya duduk, masih di atas tubuhku, lalu menyelimutinya serta mengangsurkan sebotol air mineral.

"Terima kasih... terima kasih... berkat jasamu, aku selamat!" Mbok Nah mengelus-elus badanku lalu membungkuk dan menciumiku berkali-kali. Aku seperti anak kesayangan yang lama hilang dan ditemukan.

"Jadi semalaman Ibu terhanyut bersama meja kayu besar ini?" tanya seseorang entah siapa. Nada suaranya meninggi mengekspresikan rasa kagum sekaligus ketidakpercayaannya.

"Betul Pak! Pas banjir datang saya berhasil pegangan pada kaki-kakinya. Saya juga heran, kok bisa ndak terlepas sama sekali ya, padahal kan arusnya kuat banget," kisah Mbok Nah dengan wajah kebingungan menyadari mukjizat yang nyaris tak bisa dipercaya.

"Sungguh besar Kuasa Tuhan!" suara lain menimpali. 

"Benar, Gusti Maha Kuasa! Meja kayu besar ini tadinya ada di ruang bundar rumah juragan saya!" kisah Mbok Nah tanpa ditanya, "Sebenarnya, meja ini dibuat dari kayu log hasil pembalakan yang dilakukan juragan saya itu... namanya Tuan Prawiro."

Para petugas SAR dan masyarakat yang berkerumun tampak mengangguk-angguk. Sebagian yang lain sibuk merekam dengan ponsel dan kameranya.

"Pak Petugas, boleh ndak kalau meja ini buat saya saja? Buat kenang-kenangan," pinta Mbok Nah polos.

***

Epilog

Aku tak pernah menyesal meskipun tidak terlahir sebagai kupu-kupu elok. Sedari kecil aku sangat mencintai alam liar tempatku dilahirkan. Di sana aku memupuk asa menjadi yang terhebat di antara ribuan kawanku. Badanku tumbuh cepat menyebar ke segala penjuru. Meski tak berhias bunga ataupun buah, aku bangga dengan kekar tubuhku, juga akar-akarku nan kuat. Aku adalah pohon tertinggi dan terbesar di hutan tropis perbukitan.

Ada sukacita ketika mendapati liana liar berbunga elok tak segan merambati dan membelit sekujur tubuhku. Aku dan kawan-kawanku merasa bangga karena sangat berarti. Sedemikian penting peran yang diberikan Tuhan kepada kami.

Kami menjadi paru-paru bumi. Kami menjaga sistem iklim dan cuaca planet ini, agar musim hadir semestinya, agar menyembul cercah senyum penuh harap kaum petani. Bersama dengan tanah, kami serap curahan hujan sebelum muncul sebagai mata air. Betapa mulia tugas kami. Aku selalu mengira akan menua dan mati dalam tugas suci itu.

Namun takdir berkata lain-jika ini disebut takdir! Aku ditebang tanpa rasa hormat oleh manusia-manusia jahat. Kemudian tubuhku dirombak mewujud sebuah meja raksasa, dan dipajang demi menunjukkan arogansi semata. Kala itu aku tak lagi mengerti makna hadirku di bumi.

Kini perlahan-lahan kuterima takdirku sebagai meja kayu. Setidaknya aku masih punya satu kebanggaanku, yaitu telah menyelamatkan jiwa wanita sederhana yang lurus hatinya. [Tamat]    

Depok, 6 Oktober 2020

Salam Fiksiana, Dwi Klarasari

 

Catatan:

  • Log: gelondongan (kayu gelondongan hasil penebangan)
  • Ampuuun.. tob... tobat Gustiii! (bhs Jawa, artinya: Mohon ampun, saya bertobat Tuhan)
  • Matur sembah nuwun Gusti kula dipun paringi slamet (bhs Jawa, artinya: Terima kasih Tuhan saya diberi keselamatan)

Cerpen ini menjadi salah satu favorit dalam LMCR Perhutani Tahun 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun