Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memahami Ambiguitas dan Kontroversi Permendikbud PPKS Secara Linguistik

27 November 2021   09:15 Diperbarui: 29 November 2021   07:53 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber prostock-studio (envato elements)

Saya sempat menemukan tangkapan gambar judul news berbunyi "Kemdikbud Ristek Akan Melegalkan Perzinaan" pada sebuah story WhatsApp. Tak lama berselang, saya menemukan sejumlah kanal youtube TV Nasional mempertontonkan polemik Permendikbud No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Saya jadi ikut penasaran, mengapa Permendikbud PPKS menuai kontroversi?

Lewat tayangan youtube Kompas TV (ROSSI) 21 September 2021, saya menyimak tanya jawab Kalish Mardiasih dan Fadh Pahdhepie perihal kontroversi Permendikbud PPKS. 

Salah satu akar masalah polemik tersebut yang menarik bagi saya yaitu keberatan pihak tertentu terhadap penggunaan bahasa pada uraian pasal.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Fadh Pahdhepie bahwa yang menjadi sumber polemik Permendikbud PPKS ialah frasa "tanpa persetujuan korban" karena memberi peluang tafsir hukum yang berbeda. 

Di lain sisi, menurut Kalish Mardiasih frasa "tanpa persetujuan korban" diperlukan untuk mengukuhkan tuntutan korban yang rentan mengalami tuduhan balik.

Rupanya, frasa "tanpa persetujuan korban" dinilai ambigu atau multitafsir bagi pihak tertentu. Saya kira, hal ini yang membuat munculnya konstruksi kalimat baru pada judul-judul berita di medsos yang sempat saya temukan tentang "zina yang dilegalkan."

Lantas, mengapa penggunaan bahasa dapat ambigu atau multitafsir? Bagaimana sebenarnya ambiguitas secara ilmu bahasa?

Kalis Mardiasih & Fadh Pahdepie (Sumber: Youtube Kompas TV)
Kalis Mardiasih & Fadh Pahdepie (Sumber: Youtube Kompas TV)

Kajian ambiguitas dalam linguistik

Sambil menunggu ahli bahasa diberi panggung khusus untuk mengonfirmasi polemik ini secara linguistik, sampai sini kita sebagai publik dapat bersimulasi dengan menganalisis konsep tentang makna ambiguitas dalam linguistik.

Simulasi analisis ini untuk mengambil dua pembelajaran bagi literasi kita. Pertama, bagaimana sebetulnya konsep makna Ambiguitas dan Multitafsir bahasa? Kedua, bagaimana kita menyikapi penggunaan kalimat atau bahasa dalam judul berita.

Perihal multitafsir atau disebut juga ambigu pada penggunaan bahasa dapat kita temukan di kajian ilmu bahasa ( linguistik) pada tataran semantik.

Dalam ranah bahasa tulis, ambiguitas bahasa memang kerap terjadi karena tidak memiliki intonasi dan bunyi yang pasti seperti bahasa lisan.

Jadi itu wajar saja terjadi. Akan tetapi, justifikasi peluang multitafsir atau ambigu pada bahasa tulis sebetulnya tidak sesederhana memberi respons pertanyaan, terlebih pada teks bacaan yang bukan fiksi/karya sastra. 

Pada kajian linguistik, ambigu atau lebih tepatnya ambiguitas merupakan gejala kegandaan makna akibat tafsir gramatikal yang berbeda.

Hal tersebut dijelaskan oleh linguis/ahli bahasa Abdul Chaer dengan istilah taksa atau ketaksaan. Linguis Harimurti Krisdalaksana juga menjelaskan bahwa ambiguitas adalah sifat konstruksi (satuan bahasa) yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran.

Kita dapat memahami bahwa ambiguitas terjadi ketika ada lebih dari satu makna dari satu bentuk kalimat atau satuan bahasa. Yang perlu digarisbawahi juga ialah sejumlah jenis penyebab ambiguitas. 

Pertama, ambiguitas berdasarkan makna gramatikal yang terjadi akibat hubungan antar unsur-unsur kalimatnya.

Sebagaimana contoh yang dijelaskan oleh Abdul Chaer dalam Linguistik Umum. Misalnya pada konstruksi "Buku sejarah baru" yang dapat dimaknai dengan berbeda. Pembaca dapat memaknainya menjadi, "Buku sejarah tentang hal-hal terkini ( baru)". Kedua, pembaca dapat pula mengartikannya menjadi, "Buku baru (tentang) sejarah".

Peluang multitafsir tersebut terjadi karena hubungan kata "sejarah" dan kata "baru" dalam susunan gramatikal kalimat tersebut.

Ketidaklengkapan unsur dalam kalimat juga membuat peluang multitafsir sehingga perlu diurai unsur lain yang tersirat pada struktur gramatikal tersebut.

Selain itu, penyebab kedua ambiguitas yaitu berdasarkan leksikal atau unsur kata dalam kalimat. Misalnya hadir homonimi ( kata dengan makna lebih dari satu). Sebagai contoh pada konstruksi kalimat "Randi memang bukan orang kudus." 

Kalimat tersebut dapat berarti "Randi bukan orang dari daerah kudus", dan "Randi bukan orang suci ( kudus)". Makna menjadi ganda karena dominasi makna kata "kudus" yang memiliki lebih dari satu makna.

Berdasarkan penjelasan tersebut, saya rasa kita perlu menerima penjelasan mengenai peluang multitafsir frasa "tanpa persetujuan korban".

Artinya, landasan linguistik yang dipergunakan oleh pihak yang menganggap frasa tersebut ambigu harus dijabarkan. Sebab, jika menggunakan konsep ketaksaan atau ambiguitas sebagaimana penjelasan di atas ( makna gramatikal dan makna leksikal), maka akan sulit untuk menemukan peluang multitafsir pada frasa tersebut.

Kesulitan yang saya maksud adalah dikarenakan dua hal. Pertama, pada frasa "tanpa persetujuan korban" tidak ada homonimi ( kata yang memiliki makna lebih dari satu) .

Kedua, secara gramatikal, relasi makna antara frasa "tanpa persetujuan korban" merupakan bagian dari kalimat definisi, yang cukup kuat perannya dalam menerangkan "predikat" pada konstruksi "memperlihatkan alat kelaminnya" di pasal terkait.

Jika melihat bangunan kalimat Pasal 5 Nomor (2) Butir (b) secara utuh: "Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: ... (b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban", maka terlihat bahwa frasa "tanpa persetujuan korban" merupakan bagian dari kalimat kompleks yang mengelaborasi pengertian tentang kekerasan seksual.

Seandainya frasa tersebut dihilangkan akan menjadi : "Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: ... (b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja." 

Hilangnya frasa "tanpa persetujuan korban" menurut saya dapat mengurangi fungsi kalimat definisi karena kehilangan unsur pelengkap atau keterangan tentang objek sebagai penderita yaitu "korban". Hal ini dikarenakan unsur objek sebagai ( korban) di kalimat tersebut "lesap" dan muncul di akhir kalimat melalui frasa tanpa persetujuan "korban". 

Oleh sebab itu, makna "kekerasan seksual" pada kalimat menjadi tidak definited jika frasa tanpa persetujuan korban dihilangkan. Makna dari konstruksi "memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja" akan mengenai "objek" yang abstrak dan berlaku umum dengan kondisi yang tak terbatas. Definisi "kekerasan seksual" akan menyasar untuk semua hubungan dalam kondisi apapun, termasuk diantaranya hubungan resmi "suami dan istri" atau pun hubungan lainnya.

Berdasarkan analisis tersebut maka secara gramatikal frasa "tanpa persetujuan korban" penting bagi konstruksi kalimat Pasal 5 Nomor (2) Butir (b), jika dibandingkan tidak menggunakan frasa sama sekali.

Antara makna gramatikal dan makna asosiatif

Masalahnya adalah ketika muncul respons pembaca yang berbunyi, "kalau dengan persetujuan, berarti diperbolehkan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja? Berarti suka-sama suka tidak apa? Berarti zina itu diperbolehkan dong?" Apakah itu bentuk penafsiran makna yang berdasarkan kalimat Pasal 5 Nomor (2) Butir (b)?

Menurut saya, respons semacam itu bukanlah makna lain yang berasal dari konstruksi kalimat atau frasa pada Pasal 5 Nomor (2) Butir (b), melainkan konstruksi baru berupa pertanyaan setelah membaca kalimat atau frasa tersebut.

Perihal mengapa pertanyaan tersebut muncul setelah membaca kalimat atau frasa tanpa persetujuan korban? Tentu pihak yang memberi respons perlu menjelaskan secara linguistik. 

Kendati demikian, sejauh yang dapat saya pahami, respons tersebut boleh jadi merupakan hasil dari asosiatif atau pemberian makna konotatif dengan cara menghubungkan makna kata/frasa/kalimat atau satuan bahasa yang dibaca dengan hal-hal di luar bacaan tersebut.

Sebagai contoh, ketika membaca kalimat, "Kamu dilarang mengambil handphone itu tanpa izin ibu.", kita sulit menemukan peluang ambiguitas kalimat tersebut. Sebab, hadirnya keterangan tanpa izin ibu adalah satu bangunan pernyataan yang lugas bermakna syarat.

Walau pembaca dapat saja merespons, "wah berarti kalau ayah mengizinkan boleh ya?" lantas menyimpulkan "kalau ayah mengizinkan berarti boleh mengambil handphone itu." 

Pertanyaan pembaca pada contoh tersebut berasal dari refleksi dalam benak pembaca. Bukan berpusat pada konstruksi kebahasaan, makna atau konteks pada kalimat tersebut. Sebab, kalimat tersebut bermakna tegas yaitu "larangan" dari "ibu" untuk "kamu". Kemudian menjadi rancu ketika ada "asosiasi" tentang "ayah" dalam benak pembaca.

Lantas apakah itu termasuk makna asosiatif?

Cara pemaknaan asosiatif semacam itu mungkin saja kurang tepat. Sebab, kajian makna asosiatif yang lazim pada dasarnya juga berkaitan dengan penanda berupa kata yang ada pada kalimat/ atau satuan bahasa yang dibaca.

Misalnya pada kalimat "Wajah Rani merah." Secara tekstual itu bermakna "Wajah Rani berwarna merah". Tapi pembaca dapat juga menafsirkan secara asosiatif dengan menafsirkan bahwa,"Rani sedang malu" atau mungkin "Rani sedang marah". 

Pemaknaan asosiatif tersebut terjadi karena pembaca memiliki konsep lain mengenai kata "merah". Pembaca mungkin memiliki refleksi bahwa kata "merah" identik dengan simbol perubahan mental seperti "marah", "berani", dan sebagainya. 

Pemaknaan asosiatif ini begitu bergantung pada refleksi pembacanya. Oleh karena itu, makna asosiatif begitu sulit dicegah sebab ini tergantung dari kenyataan kognitif pembacanya sehingga sering kali terlepas dari konteks penggunaan bahasa. 

Oleh sebab itu, pihak tertentu yang berpendapat bahwa penggunaan frasa tanpa persetujuan korban memiliki peluang multitafsir, sebaiknya menjelaskan secara disiplin linguistik terkait dasar teori atau dari segi apa penafsiran itu muncul. Apakah penafsiran yang gramatikal atau merupakan bentuk makna asosiatif? Atau ada acuan ilmu kebahasaan lainnya?

Problem selanjutnya bagi tim penyusun Permendikbud ini adalah bagaimana menentramkan respons tertentu yang sebut saja bersikap "asosiatif" terhadap konstruksi frasa "tanpa persetujuan korban". 

Edukasi perihal polemik penggunaan frasa atau bahasa dalam pasal Pasal 5 Nomor (2) Butir (b) harus segera dilakukan oleh ahli bahasa dari pihak penyusun atau pun ahli bahasa yang dianggap kompeten, misalnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Ahli bahasa perlu mengedukasi publik secara intens

Mengapa harus ahli bahasa yang menjelaskan ke muka publik?

Saya kira diskusi Kalish Mardiasih dan Fadh Pahdhepie di acara ROSSI kompas TV cukup menggarisbawahi bahwa polemik ini dominan berasal dari penggunaan bahasa, dalam hal ini frasa "tanpa persetujuan korban." 

Bahkan, kedua belah pihak secara eksplisit telah menyatakan sikap yang sama yakni mendukung semangat Permendikbud PPKS untuk mencegah kekerasan seksual.

Kendati demikian, sejauh yang saya simak di sejumlah media TV, yang muncul dominan di muka publik untuk membahas polemik ini bukan ahli bahasa. Maka yang terjadi bukanlah pembelajaran objektif secara keilmuan melainkan unjuk gigi argumentasi dan perang opini.

Berdasarkan simulasi analasis pada tulisan ini, maka kita sebagai publik patutnya menyadari bahwa peluang tafsir dalam konsep ambiguitas begitu terpaut dengan dasar-dasar linguistik.

Tidak hanya kajian makna gramatikal ataupun makna leksikal namun masih banyak koridor kajian makna lainnya. Sehingga kita tidak dapat sembarangan memberi arti pada segala kalimat berdasarkan pertanyaan dalam benak kita, terlebih menjadikannya sebagai makna inti kalimat. 

Simulasi analisis dalam tulisan ini bukan rekomendasi kebenaran perihal linguistik, melainkan bahan diskusi dan bacaan untuk menjernihkan pikiran kita sebagai publik. Khususnya untuk merespons judul berita yang berbunyi "KemdikbudRistek Akan Melegalkan Zina."

Sebab, ungkapan judul tersebut bukan berarti kalimat fakta dalam konteks frasa yang menjadi polemik di dalam Permendikbud PPKS.

Untuk sementara, kita dapat menyimpulkan secara waspada, bahwa judul semacam" KemdikbudRistek Akan Melegalkan Zina" tersebut merupakan opini subjektif yang belum tentu tepat.

***

(Marendra Agung J.W. Di penghujung momen hari guru 2021. 25-26 November. )

Sumber bacaan konsep linguistik: 

- Kamus Linguistik Edisi Ketiga, Harimurti Kridalaksana, ( Gramedia Pustaka Utama)

- Linguistik Umum, Edisi Revisi, Abdul Chaer, ( Penerbit Rieneka Cipta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun