Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memahami Ambiguitas dan Kontroversi Permendikbud PPKS Secara Linguistik

27 November 2021   09:15 Diperbarui: 29 November 2021   07:53 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber prostock-studio (envato elements)

Berdasarkan penjelasan tersebut, saya rasa kita perlu menerima penjelasan mengenai peluang multitafsir frasa "tanpa persetujuan korban".

Artinya, landasan linguistik yang dipergunakan oleh pihak yang menganggap frasa tersebut ambigu harus dijabarkan. Sebab, jika menggunakan konsep ketaksaan atau ambiguitas sebagaimana penjelasan di atas ( makna gramatikal dan makna leksikal), maka akan sulit untuk menemukan peluang multitafsir pada frasa tersebut.

Kesulitan yang saya maksud adalah dikarenakan dua hal. Pertama, pada frasa "tanpa persetujuan korban" tidak ada homonimi ( kata yang memiliki makna lebih dari satu) .

Kedua, secara gramatikal, relasi makna antara frasa "tanpa persetujuan korban" merupakan bagian dari kalimat definisi, yang cukup kuat perannya dalam menerangkan "predikat" pada konstruksi "memperlihatkan alat kelaminnya" di pasal terkait.

Jika melihat bangunan kalimat Pasal 5 Nomor (2) Butir (b) secara utuh: "Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: ... (b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban", maka terlihat bahwa frasa "tanpa persetujuan korban" merupakan bagian dari kalimat kompleks yang mengelaborasi pengertian tentang kekerasan seksual.

Seandainya frasa tersebut dihilangkan akan menjadi : "Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: ... (b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja." 

Hilangnya frasa "tanpa persetujuan korban" menurut saya dapat mengurangi fungsi kalimat definisi karena kehilangan unsur pelengkap atau keterangan tentang objek sebagai penderita yaitu "korban". Hal ini dikarenakan unsur objek sebagai ( korban) di kalimat tersebut "lesap" dan muncul di akhir kalimat melalui frasa tanpa persetujuan "korban". 

Oleh sebab itu, makna "kekerasan seksual" pada kalimat menjadi tidak definited jika frasa tanpa persetujuan korban dihilangkan. Makna dari konstruksi "memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja" akan mengenai "objek" yang abstrak dan berlaku umum dengan kondisi yang tak terbatas. Definisi "kekerasan seksual" akan menyasar untuk semua hubungan dalam kondisi apapun, termasuk diantaranya hubungan resmi "suami dan istri" atau pun hubungan lainnya.

Berdasarkan analisis tersebut maka secara gramatikal frasa "tanpa persetujuan korban" penting bagi konstruksi kalimat Pasal 5 Nomor (2) Butir (b), jika dibandingkan tidak menggunakan frasa sama sekali.

Antara makna gramatikal dan makna asosiatif

Masalahnya adalah ketika muncul respons pembaca yang berbunyi, "kalau dengan persetujuan, berarti diperbolehkan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja? Berarti suka-sama suka tidak apa? Berarti zina itu diperbolehkan dong?" Apakah itu bentuk penafsiran makna yang berdasarkan kalimat Pasal 5 Nomor (2) Butir (b)?

Menurut saya, respons semacam itu bukanlah makna lain yang berasal dari konstruksi kalimat atau frasa pada Pasal 5 Nomor (2) Butir (b), melainkan konstruksi baru berupa pertanyaan setelah membaca kalimat atau frasa tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun