Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Keterbatasan Bahasa Sehari-Hari dan Linguistik

14 April 2024   05:52 Diperbarui: 14 April 2024   07:02 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kata adalah ilustrasi verbal (sumber: pribadi, bing.com) 

Adalah benar, bila ada opini atau persepsi bahwa kosa kata dalam sebuah bahasa itu, memiliki keterbatasan. Keterbatasan jumlah kosa kata, atau keterbatasan daya ungkap yang dimaksudkan. Ekspresi pikiran dan perasaan manusia, kadang tidak selamanya mampu diwakili oleh sebuah kata yang ada dalam bahasa tertentu. Sebut saja, orang Sunda pasti merasakan bahwa tidak ada pilihan kata dalam bahasa Indonesia untuk mengganti kata 'clom giriwil'. Untuk sekedar satu kasus ini saja, orang berbahasa Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskannya. Karena itu, andai saja ada yang menyebutkan bahwa ada keterbatasan, tampaknya, boleh jadi bisa dibenarkan. Argumentasi ini, bisa dipahami.

Lain halnya, kalau dikatakan, bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang miskin kosa kata.  Mungkin jadi, ungkapan seperti ini, bisa diperdebatkan.

Pertama, bahasa Indonesia adalah bahasa yang tumbuh. Diakui atau tidak, kekayaan kosa kata bahasa Indonesia, adalah buah dari proses perkembangan bahasa yang sangat dinamis. Sejumlah kata serapan, yang dianggap perlu diserap, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, senantiasa terus dilakukan. Sebagaimana  yang kita bisa rasakan saat ini. Saat kita menuliskan narasi ini di sini,  tentunya tidak seluruhnya berasal dari bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, sebagian diantaranya ada yang berasal dari kata serapan.

Kedua, pengaruh pola penggunaan. Seorang anak akan memiliki kecukupan kosa kata sesuai kebutuhannya, demikian pula seorang anak remaja. Seorang anak remaja akan berbeda kosa katanya, bila dibandingkan dengan seorang  mahasiswa. Seorang mahasiswa sastra, akan berbeda dengan seorang mahasiswa ilmu sosial atau eksakta. Lingkungan sosial yang dimiliki, memberikan pengaruh nyata terhadap variasi penggunaan bahasa yang digunakan.

Pengalaman pribadi, saat membaca buku Penafsir Hasrat (Tarjumn al-Ashwq)  karya Ibn Arabi (1165-1240) yang diterjemahkan Lutfhi Mardiansyah. Terbetik dalam pikiran ini, ada satu kekaguman luar biasa terhadap buku tersebut. Karya dari seorang sufi dan filosof besar Muslim ini, mampu mengungkapkan analisis kritis dan filosofisnya tentang hasrat.  Kekaguman itu, bukan hanya terhadap isi, tetapi terhadap pilihan kata yang digunakan penerjemah dalam menggali makna dalam karya pemikir yang dikenal sebagai penghidup kembali ilmu-ilmu keagamaan (Muhyiddin) dimaksud. 

Semisal : 

  • Yang ingin dirungkup hasrat penuh gairah dan yang kepadanya lesatan anak panah dibidik- kan, ke mana pun ia mengambil tikungan.'Ia tampakkan gigi-geliginya dan mata petir mengerjap, aku tak tahu mana dari keduanya yang mengoyak kegelapan

Bagi yang tak terbiasa dengan sastra, pilihan kata yang hadir dalam dua bait puisi itu, akan sulit untuk mencernanya secara langsung. Hal yang uniknya, saat kita meminta bantuan kamus Besar Bahasa Indonesia, kita akan menemukan kata-kata tersebut, sebagai bagian dari bahasa Indonesia. Kenapa bisa begitu ?

Itulah yang kita maksudkan tadi. Jumlah kosa kata, akan senantiasa berkaitan dengan pembiasaan dan keterbiasaannya kita dalam menggunakannya.  Karena bahasa itu, adalah apa yang dipakai.

Ketiga, saat kita kerap kali menggunakan bahasa Asing, seperti bahasa Arab atau Bahasa Inggris, maka intensitas penggunaan akan mempengaruhi 'psikologi-pengguna' dalam menggunakan pilihan kata (diksi).  Semakin sering menggunakan satu bahasa tertentu, akan semakin kaya dan variatif, dan dalam waktu bersamaan, kosa kata yang sebelumnya pun, akan tergerus semakin surut. Seorang penutur bahasa Daerah, akan merasa sulit mengungkapkan hasratnya, bila dia sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia, demikian pula dalam konteks yang lainnya.

Keempat, kematangan intelektual.Apakah hal ini, terasa sebagai pengalaman subjektif, atau objektif, silakan pembaca menilainya. Tetapi, jika kita membaca karya tulis yang dibuat oleh seorang pakar, akan terasa sangat kritis dan mendalam serta ilustratif, bila dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa S-1 (misalnya). Lebih terasa lagi, kalau kita mencoba menengok kembali, ragam tulisan yang pernah kita buat, antara tulisan hari ini, dengan tulisan 5 atau 10 tahun yang lalu. 

Pengalaman subjektif penulis, sangat terasa dan merasa ada perkembangan variasi dan struktur berbahasa yang unik. Bukan hanya dalam pilihan kata, kekayaan kosa kata, tetapi struktur berbahasa pun, mengalami perubahan. Inilah yang dimaksudkan dengan kematangan intelektual seseorang akan mempengaruhi pada horizon kebahasaan yang digunakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun