Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memahami Ambiguitas dan Kontroversi Permendikbud PPKS Secara Linguistik

27 November 2021   09:15 Diperbarui: 29 November 2021   07:53 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber prostock-studio (envato elements)

Perihal mengapa pertanyaan tersebut muncul setelah membaca kalimat atau frasa tanpa persetujuan korban? Tentu pihak yang memberi respons perlu menjelaskan secara linguistik. 

Kendati demikian, sejauh yang dapat saya pahami, respons tersebut boleh jadi merupakan hasil dari asosiatif atau pemberian makna konotatif dengan cara menghubungkan makna kata/frasa/kalimat atau satuan bahasa yang dibaca dengan hal-hal di luar bacaan tersebut.

Sebagai contoh, ketika membaca kalimat, "Kamu dilarang mengambil handphone itu tanpa izin ibu.", kita sulit menemukan peluang ambiguitas kalimat tersebut. Sebab, hadirnya keterangan tanpa izin ibu adalah satu bangunan pernyataan yang lugas bermakna syarat.

Walau pembaca dapat saja merespons, "wah berarti kalau ayah mengizinkan boleh ya?" lantas menyimpulkan "kalau ayah mengizinkan berarti boleh mengambil handphone itu." 

Pertanyaan pembaca pada contoh tersebut berasal dari refleksi dalam benak pembaca. Bukan berpusat pada konstruksi kebahasaan, makna atau konteks pada kalimat tersebut. Sebab, kalimat tersebut bermakna tegas yaitu "larangan" dari "ibu" untuk "kamu". Kemudian menjadi rancu ketika ada "asosiasi" tentang "ayah" dalam benak pembaca.

Lantas apakah itu termasuk makna asosiatif?

Cara pemaknaan asosiatif semacam itu mungkin saja kurang tepat. Sebab, kajian makna asosiatif yang lazim pada dasarnya juga berkaitan dengan penanda berupa kata yang ada pada kalimat/ atau satuan bahasa yang dibaca.

Misalnya pada kalimat "Wajah Rani merah." Secara tekstual itu bermakna "Wajah Rani berwarna merah". Tapi pembaca dapat juga menafsirkan secara asosiatif dengan menafsirkan bahwa,"Rani sedang malu" atau mungkin "Rani sedang marah". 

Pemaknaan asosiatif tersebut terjadi karena pembaca memiliki konsep lain mengenai kata "merah". Pembaca mungkin memiliki refleksi bahwa kata "merah" identik dengan simbol perubahan mental seperti "marah", "berani", dan sebagainya. 

Pemaknaan asosiatif ini begitu bergantung pada refleksi pembacanya. Oleh karena itu, makna asosiatif begitu sulit dicegah sebab ini tergantung dari kenyataan kognitif pembacanya sehingga sering kali terlepas dari konteks penggunaan bahasa. 

Oleh sebab itu, pihak tertentu yang berpendapat bahwa penggunaan frasa tanpa persetujuan korban memiliki peluang multitafsir, sebaiknya menjelaskan secara disiplin linguistik terkait dasar teori atau dari segi apa penafsiran itu muncul. Apakah penafsiran yang gramatikal atau merupakan bentuk makna asosiatif? Atau ada acuan ilmu kebahasaan lainnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun