puisi kesatu
BREVIR
Pagi menjelang
Bersimpuh dalam hening brevir
Menyampaikan salam dan doa
Dari lubuk terdalam
Kulihat
Wajah nan teduh
Mata terpejam
Bibir mengurai kata
Penuh makna dalam doa
Ahh....
Tidak....
Simpuhku tidaklah sempurnaÂ
dalam rangkai kepada-Nya...
Karna ku tak penuh tertuju
PadaNya
19 Oktober 2019
puisi kedua
GEREJA JAGO
Sepuluh hari....
Pada nol empat nol nol...
Lantunkan rosario saat fajar mulai tiba...
Lagukan kidung zakaria dalam hati...
Karena itulah toleransi
Pernah pagi-pagi benar...
Nol empat empat lima...
Melangkah sendiri...
Menyusuri jalan menurun...
Menyongsong sang fajar...
Menuju rumah Tuhan....
Tetiba ku di Gereja Jago...
Menunggu...
Sang penjaga dan anjing kesayangan - baru saja
buka gerbang gereja....
Melangkah memasuki gereja...
Kuhirup nafas....
Merasakan bahagia yang tergetar...
Aku tlah sampai....
Puji syukur padaMu
Murnajati_Lawang
Jumat, 18 Oktober 2019
Saat itu...
Dalam berilmu di Murnajati
puisi ketiga
RINDU ZIARAH
Di kala hati sudah disesah
Tiada lagi mata air tercurah
Habis sudah....
Gambar orang di Basilika
Ahh.....
Itulah rinduku dulu...
Ke Italy, Prancis, Mejugorje....
Dulu...Rinduku....
Lihatlah kini...
Yang ada di depan...
Genggam dulu rindu itu....
3 November 2019
puisi keempat
KOTA KECIL
Di tengah ramaiÂ
Deru motor dan debu
Di jantung kota kecil ini
Orang datang dan pergi
Tuk sekedar bersandar
Dari segenap kepenatan pekan ini
Suara anak anak celoteh mereka
Menggema dari segala penjuru
Penuhi malam ini
Ada yang berkejaran
Ataupun duduk tenang
Dengan kuas di tangan
Wujudkan ekspresi
Malam makin larut
Satu demi satu
mulai beringsut
Tinggal cahaya bintang
puisi kelima
MASA
Bumi merana
Panas
Detik waktu berjalan
Kering tenggorokan
Lelehan keringat
Menunggu
Tak usah dinanti
Akan datang masanya
puisi keenam
REMUK
Dikala hati sudah disesah
Tiada lagi air mata tercurah
Habis sudah.
Dalam nanar kutatap diri
Remuk...
Lunglai....
Membayang di mata...
Mahkota duri menghunjam...
Ahh....
Tiada sebanding lakonku ini...
Biar tersayat dan terantuk....
Lagi tersayat....
Dalam malam-malamku nanti...
Dia...Dia...iya Dia...
Sang Kebijaksanaan Abadi....
Pulihkanku
puisi ketujuh
MENDUNG
Awan memburat mendung
Disini........
Mendung tak berarti hujan
Mendung tak berarti perih
Mendung tak berarti pedih
Mendung tak berarti...
Tapi perih dan pedih berarti...
Mendung hanya ikuti
Ikuti perih dan pedih
Mendung setia.....
Ikuti perih dan pedih
Genangan luh di pelupuk setia.....
Ikuti perih dan pedih
Perih dan pedih
Melesak masuk ke jiwa
Ruh meronta tak kuasa
Tak kuasa rasa perih dan pedih
Malam makin larut selarut-larutnya
Mendung dimana?
puisi kedelapan
JAM TANGAN
Terang berganti mendung
Pun guntur guruh gemuruh menggetarkan dada
danÂ
Air langit turunlah
Airnya memenuhi tanah menutup rumput
Meluap sampai ke batas
Terhenyak sejenak....
Gelap...
Mati lampu...
Kucari jam tanganku...
Waktu ku tuk bertemu pasien...
Ahh... Jam tanganku tak berdetak... Ia mati...
Pada mas bojo kubilang...
Jam tanganku mati...
Jawab mas bojo... Belilah sendiri (tukuo dhewe)
Hiyaaaa.....
Dulu bila kubilang jam tanganku mati....
Mas bojo akan bilang... ya esok akan kubelikan....
(yo sesuk tak tukokne)
Krik krik krik krik.....
puisi kesembilan
MELAWAN RINDU
Merindumu
Dalam keringnya malam
Dalam kantuk yang tak kuasa tuk tahan
Goreskan tulisan tuk rindu ini
Rinduku padamu
Bak buaian sepi menyepi
Seolah angin tak berhembus
Dan dingin tak menusuk
Trus diam
Indra tak kuasa lawan rindu ini
Hanya batin yang merenda
Melawan rindu
Kenapa harus kulawan kataku
Karena tak ada air tanpa air mata
Dan tak pernah ada hujan tanpa berawan
Karna rindu ini tak terbingkai
puisi kesepuluh
SOBAT
Semalam-malaman ku tak lelap
Kering sekali malam ini
Tiada sinar bulan
bahkan kerlip bintang pun tidak
Beruntung
Sesore tadi dalam terang sinar buatan
Bersua dengan sobat dan merangkai karya padanya
Karya yang tak ku punya sendiri
Tapi karya yang Kau sertakan dalamku
Agar sobatku .... sembuh....
puisi kesebelas
BUKAN MIMPI
Malam hampir kau gantikan
Hai fajarku yang kutunggu
Tersadar sejenak ku dari lelap
Ingin rebah kembali
Lanjutkan rajutan mimpi
Ini bukan mimpi
Ku melangkah dalam lelap
Bahkan... tak ada detik yang beri ku waktu tuk rebah
Teringat akan laku yang harus kutapak hari ini
Inilah penguat jalan ku malam ini
Ohh detik.... beriku waktu.... tuk berkedip panjang sedikit
puisi keduabelas
PADRE
Kubaca puisinya hari ini
Tentang "Baju ini, milik siapa?"
Binar mataku memerah dan tergenang...
Betapa teguh kau genggam baktimu
Betapa dahsyat kau tunjukkan cintamu padaNya
Dalam pandangan mataku
Seperti yang selalu melekat dalam ingatanku
Kau terpejam dalam hening...
Dan... Bibirmu.... mengurai kata untukNya
Andai kau pernah tau...
Darimu ku belajar mengukir kata doa
Darimu ku belajar notasi lagu surgawi
Darimu ku belajar menuliskan isi hati dalam puisi
Darimu ku belajar sedikit filsafat yang ahh bikin pusing
Entah...
Kapan kan ada waktu
Untuk memeluk rindu
Untuk bercerita sedikit tentang hidup
Hanya harapku padamu
Satu saat nanti....
Ku dapat memanggilmu.....
'Padre'
puisi ketigabelas
KUCUBIT PIPIMU
Senja ini
Kau bergeming
Seakan lepas sudah semua hasrat
Hanya karena kapan waktu merenda...
Kembali ke negeri seberang
menggapai ilmu yang tertunda...
kau lupa
Semua tlah disiapkanNya bagimu
kau tlah lupa
Karna terlalu cemas dan gelisahmu
Padahal yang empunya hidup bilang
Jangan cemas dan gelisah hatimu
berharaplah kepadaKu saja
IngatlahÂ
Diluar sana
jutaan orang bergelut dengan keras dan getirnya kehidupan
Demi sekadar hidup
Karna derai rinai hidup yang mendadak bertaut
dengan si Covid 19
Cerita yang kusiapkan
Celoteh yang kutawarkan
Narasi lucu yang menyegarkan
Simbol simbol hangat, cinta dan kasih
Kidung yang kunyanyikan
SemuanyaÂ
Sudah tak kau hiraukan
bergeming
Kucubit Pipimu senja ini
Agar kau ingat
Kau tak sedang bermimpi
puisi keempatbelas
JEJAK
Capung berlarian di taman
Tinggalkan jejaknya pada lubang di daun
Pun manusia merangkak, berdiri, berjalan, berlari
Meninggalkan jejaknya pada lajur waktu yang bergulir
puisi kelimabelas
ABSURD
Pada biru langit yang mendekap erat bintang
Kukatakan
Aku kan menunggumu
Pada angkasa yang menggenggam kilau rembulan
Kukatakan
Kan kuraih sisa bayangmu
Pada malam nan temaram
Karna rembulan itu muncul malu malu
Biarkan rasa ini terbangÂ
mencari bayangmu
Dan bila malam tlah berganti fajar
Saat kilau sinarnya mulai merekah
Biarkan hangat sinarnya datang
Dan merasuk ke dalam realita
Dan realita itu....
Absurd
puisi keenambelas
TANPA JUDUL
Menyeruak dari hamparan rumput teduh
Menyelinap di balik kilau rembulan
Mengembara di relung dalam
Menepi di bibir samudera
Mana bibirmu.... samudera....
Samudera tak berbatas katanya
Tak ada tepian samudera apalagi bibir samudera
Tak ada menepi, yang ada adalah persinggahan
Di titik dekat samudera raya nan luas menghampar
Dalam noktah ruang dan waktu
Dalam keniscayaan
Persinggahan menyelaraskan frekuensi
Menyatukan syair putih dan hitam
Seperti yin dan yang
menyeimbangkan
Ahh itu  hanya seumur jagung
Karna hanya persinggahan
Tak ada akar itu tuk mengokohkan batang
Hingga air tak mampu merasuk ke batang
menghasilkan daun hijau
Lekas lepaslah dia batang yang kecil itu
Lepas dan tercerabut
Menjejak keluar dari persinggahan ini
menjadi kesesakan kapankah berkesudahan
Coba luaskan hati dengan asa
Mendaraskan puja puji ke langit
Semoga sampai padaNya
Harapan yang menghidupkan
puisi ketujuhbelas
CELANA ROBEK
Selama ini tlah....
Menyusuri perjalanan bersamamu
Kau pun tak lelah menemaniku
Kadang ku berpikir tuk bersama yang lain..
Barangkali kau bosan karena tlah usang bersamaku
Menjadi usang bersama... Ketika itu...
Waktu panas dan terik kau hamparkan kesejukan
Waktu dingin nan menusuk kau dekapkan kehangatan
Walau robekan menyeruak dari antara permukaanmu
Ku kan setia
Tuk bersamamu
Celana blue jeansku yang usang
Kau tak tergantikan
puisi kedelapanbelas
LANGIT KAMAR
Pada langit-langit kamar kutanya
Apa yang kau lihat dibawahmu
Aku dan apa lagi
Sudah jangan melihat
Biarlah langit-langit tetap seperti itu
puisi kesembilanbelas
KUCINGKU
Malam ini sunyi
Tadi turun hujan
Kucing-kucingku yang enam ekor
Tak mengeong
Entah
Mungkin karena habis hujan
Mungkin karena dingin menarik  bulu-bulunya
Membuatnya meringkuk di bawah langit
Sambil menunggu fajar
Dan mengeong minta sarapan pagi
puisi keduapuluh
BARISAN KATA
Entah kenapa bila hujan datang
Aku ingin mengeluarkan kata dari kepalaku
Yang merajuk ingin keluar
Melompat menuju kertas untuk menari-nari di atasnya
Kemudian berbaris rapi membentuk makna
puisi keduapuluh satu
HUJAN
Ah hujan....
Kenapa kau datang malam malam
Kemudian berhentiÂ
dan menyisakan dingin
Karna tak ada tungku penghangatÂ
Yang ada selimut lama
Yang lembut dipleluk
Tapi tak cukup menghalau dingin yang kau sisakan
puisi keduapuluh dua
NOKTAH
Kujumpai noktah dimana mana
Dalam tulisan
Dalam gambar
Dalam pemandangan nan jauh
Bahkan dalam birunya langit