Mohon tunggu...
YOAN NATALIA
YOAN NATALIA Mohon Tunggu... Dokter - General Practicioner

Penulis adalah seorang Dokter Umum lahir di Malang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kumpulan Puisi Yoan Natalia

6 Mei 2021   23:40 Diperbarui: 7 Juni 2021   00:08 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

puisi kesatu

BREVIR

Pagi menjelang

Bersimpuh dalam hening brevir

Menyampaikan salam dan doa

Dari lubuk terdalam

Kulihat

Wajah nan teduh

Mata terpejam

Bibir mengurai kata

Penuh makna dalam doa

Ahh....

Tidak....

Simpuhku tidaklah sempurna 

dalam rangkai kepada-Nya...

Karna ku tak penuh tertuju

PadaNya

19 Oktober 2019

puisi kedua

GEREJA JAGO

Sepuluh hari....

Pada nol empat nol nol...

Lantunkan rosario saat fajar mulai tiba...

Lagukan kidung zakaria dalam hati...

Karena itulah toleransi

Pernah pagi-pagi benar...

Nol empat empat lima...

Melangkah sendiri...

Menyusuri jalan menurun...

Menyongsong sang fajar...

Menuju rumah Tuhan....

Tetiba ku di Gereja Jago...

Menunggu...

Sang penjaga dan anjing kesayangan - baru saja

buka gerbang gereja....

Melangkah memasuki gereja...

Kuhirup nafas....

Merasakan bahagia yang tergetar...

Aku tlah sampai....

Puji syukur padaMu

Murnajati_Lawang

Jumat, 18 Oktober 2019

Saat itu...

Dalam berilmu di Murnajati

puisi ketiga

RINDU ZIARAH

Di kala hati sudah disesah

Tiada lagi mata air tercurah

Habis sudah....

Gambar orang di Basilika

Ahh.....

Itulah rinduku dulu...

Ke Italy, Prancis, Mejugorje....

Dulu...Rinduku....

Lihatlah kini...

Yang ada di depan...

Genggam dulu rindu itu....

3 November 2019

puisi keempat

KOTA KECIL

Di tengah ramai 

Deru motor dan debu

Di jantung kota kecil ini

Orang datang dan pergi

Tuk sekedar bersandar

Dari segenap kepenatan pekan ini

Suara anak anak celoteh mereka

Menggema dari segala penjuru

Penuhi malam ini

Ada yang berkejaran

Ataupun duduk tenang

Dengan kuas di tangan

Wujudkan ekspresi

Malam makin larut

Satu demi satu

mulai beringsut

Tinggal cahaya bintang

puisi kelima

MASA

Bumi merana

Panas

Detik waktu berjalan

Kering tenggorokan

Lelehan keringat

Menunggu

Tak usah dinanti

Akan datang masanya

puisi keenam

REMUK

Dikala hati sudah disesah

Tiada lagi air mata tercurah

Habis sudah.

Dalam nanar kutatap diri

Remuk...

Lunglai....

Membayang di mata...

Mahkota duri menghunjam...

Ahh....

Tiada sebanding lakonku ini...

Biar tersayat dan terantuk....

Lagi tersayat....

Dalam malam-malamku nanti...

Dia...Dia...iya Dia...

Sang Kebijaksanaan Abadi....

Pulihkanku

puisi ketujuh

MENDUNG

Awan memburat mendung

Disini........

Mendung tak berarti hujan

Mendung tak berarti perih

Mendung tak berarti pedih

Mendung tak berarti...

Tapi perih dan pedih berarti...

Mendung hanya ikuti

Ikuti perih dan pedih

Mendung setia.....

Ikuti perih dan pedih

Genangan luh di pelupuk setia.....

Ikuti perih dan pedih

Perih dan pedih

Melesak masuk ke jiwa

Ruh meronta tak kuasa

Tak kuasa rasa perih dan pedih

Malam makin larut selarut-larutnya

Mendung dimana?

puisi kedelapan

JAM TANGAN

Terang berganti mendung

Pun guntur guruh gemuruh menggetarkan dada

dan 

Air langit turunlah

Airnya memenuhi tanah menutup rumput

Meluap sampai ke batas

Terhenyak sejenak....

Gelap...

Mati lampu...

Kucari jam tanganku...

Waktu ku tuk bertemu pasien...

Ahh... Jam tanganku tak berdetak... Ia mati...

Pada mas bojo kubilang...

Jam tanganku mati...

Jawab mas bojo... Belilah sendiri (tukuo dhewe)

Hiyaaaa.....

Dulu bila kubilang jam tanganku mati....

Mas bojo akan bilang... ya esok akan kubelikan....

(yo sesuk tak tukokne)

Krik krik krik krik.....

puisi kesembilan

MELAWAN RINDU

Merindumu

Dalam keringnya malam

Dalam kantuk yang tak kuasa tuk tahan

Goreskan tulisan tuk rindu ini

Rinduku padamu

Bak buaian sepi menyepi

Seolah angin tak berhembus

Dan dingin tak menusuk

Trus diam

Indra tak kuasa lawan rindu ini

Hanya batin yang merenda

Melawan rindu

Kenapa harus kulawan kataku

Karena tak ada air tanpa air mata

Dan tak pernah ada hujan tanpa berawan

Karna rindu ini tak terbingkai

puisi kesepuluh

SOBAT

Semalam-malaman ku tak lelap

Kering sekali malam ini

Tiada sinar bulan

bahkan kerlip bintang pun tidak

Beruntung

Sesore tadi dalam terang sinar buatan

Bersua dengan sobat dan merangkai karya padanya

Karya yang tak ku punya sendiri

Tapi karya yang Kau sertakan dalamku

Agar sobatku .... sembuh....

puisi kesebelas

BUKAN MIMPI

Malam hampir kau gantikan

Hai fajarku yang kutunggu

Tersadar sejenak ku dari lelap

Ingin rebah kembali

Lanjutkan rajutan mimpi

Ini bukan mimpi

Ku melangkah dalam lelap

Bahkan... tak ada detik yang beri ku waktu tuk rebah

Teringat akan laku yang harus kutapak hari ini

Inilah penguat jalan ku malam ini

Ohh detik.... beriku waktu.... tuk berkedip panjang sedikit

puisi keduabelas

PADRE

Kubaca puisinya hari ini

Tentang "Baju ini, milik siapa?"

Binar mataku memerah dan tergenang...

Betapa teguh kau genggam baktimu

Betapa dahsyat kau tunjukkan cintamu padaNya

Dalam pandangan mataku

Seperti yang selalu melekat dalam ingatanku

Kau terpejam dalam hening...

Dan... Bibirmu.... mengurai kata untukNya

Andai kau pernah tau...

Darimu ku belajar mengukir kata doa

Darimu ku belajar notasi lagu surgawi

Darimu ku belajar menuliskan isi hati dalam puisi

Darimu ku belajar sedikit filsafat yang ahh bikin pusing

Entah...

Kapan kan ada waktu

Untuk memeluk rindu

Untuk bercerita sedikit tentang hidup

Hanya harapku padamu

Satu saat nanti....

Ku dapat memanggilmu.....

'Padre'

puisi ketigabelas

KUCUBIT PIPIMU

Senja ini

Kau bergeming

Seakan lepas sudah semua hasrat

Hanya karena kapan waktu merenda...

Kembali ke negeri seberang

menggapai ilmu yang tertunda...

kau lupa

Semua tlah disiapkanNya bagimu

kau tlah lupa

Karna terlalu cemas dan gelisahmu

Padahal yang empunya hidup bilang

Jangan cemas dan gelisah hatimu

berharaplah kepadaKu saja

Ingatlah 

Diluar sana

jutaan orang bergelut dengan keras dan getirnya kehidupan

Demi sekadar hidup

Karna derai rinai hidup yang mendadak bertaut

dengan si Covid 19

Cerita yang kusiapkan

Celoteh yang kutawarkan

Narasi lucu yang menyegarkan

Simbol simbol hangat, cinta dan kasih

Kidung yang kunyanyikan

Semuanya 

Sudah tak kau hiraukan

bergeming

Kucubit Pipimu senja ini

Agar kau ingat

Kau tak sedang bermimpi

puisi keempatbelas

JEJAK

Capung berlarian di taman

Tinggalkan jejaknya pada lubang di daun

Pun manusia merangkak, berdiri, berjalan, berlari

Meninggalkan jejaknya pada lajur waktu yang bergulir

puisi kelimabelas

ABSURD

Pada biru langit yang mendekap erat bintang

Kukatakan

Aku kan menunggumu

Pada angkasa yang menggenggam kilau rembulan

Kukatakan

Kan kuraih sisa bayangmu

Pada malam nan temaram

Karna rembulan itu muncul malu malu

Biarkan rasa ini terbang 

mencari bayangmu

Dan bila malam tlah berganti fajar

Saat kilau sinarnya mulai merekah

Biarkan hangat sinarnya datang

Dan merasuk ke dalam realita

Dan realita itu....

Absurd

puisi keenambelas

TANPA JUDUL

Menyeruak dari hamparan rumput teduh

Menyelinap di balik kilau rembulan

Mengembara di relung dalam

Menepi di bibir samudera

Mana bibirmu.... samudera....

Samudera tak berbatas katanya

Tak ada tepian samudera apalagi bibir samudera

Tak ada menepi, yang ada adalah persinggahan

Di titik dekat samudera raya nan luas menghampar

Dalam noktah ruang dan waktu

Dalam keniscayaan

Persinggahan menyelaraskan frekuensi

Menyatukan syair putih dan hitam

Seperti yin dan yang

menyeimbangkan

Ahh itu  hanya seumur jagung

Karna hanya persinggahan

Tak ada akar itu tuk mengokohkan batang

Hingga air tak mampu merasuk ke batang

menghasilkan daun hijau

Lekas lepaslah dia batang yang kecil itu

Lepas dan tercerabut

Menjejak keluar dari persinggahan ini

menjadi kesesakan kapankah berkesudahan

Coba luaskan hati dengan asa

Mendaraskan puja puji ke langit

Semoga sampai padaNya

Harapan yang menghidupkan

puisi ketujuhbelas

CELANA ROBEK

Selama ini tlah....

Menyusuri perjalanan bersamamu

Kau pun tak lelah menemaniku

Kadang ku berpikir tuk bersama yang lain..

Barangkali kau bosan karena tlah usang bersamaku

Menjadi usang bersama... Ketika itu...

Waktu panas dan terik kau hamparkan kesejukan

Waktu dingin nan menusuk kau dekapkan kehangatan

Walau robekan menyeruak dari antara permukaanmu

Ku kan setia

Tuk bersamamu

Celana blue jeansku yang usang

Kau tak tergantikan

puisi kedelapanbelas

LANGIT KAMAR

Pada langit-langit kamar kutanya

Apa yang kau lihat dibawahmu

Aku dan apa lagi

Sudah jangan melihat

Biarlah langit-langit tetap seperti itu

puisi kesembilanbelas

KUCINGKU

Malam ini sunyi

Tadi turun hujan

Kucing-kucingku yang enam ekor

Tak mengeong

Entah

Mungkin karena habis hujan

Mungkin karena dingin menarik  bulu-bulunya

Membuatnya meringkuk di bawah langit

Sambil menunggu fajar

Dan mengeong minta sarapan pagi

puisi keduapuluh

BARISAN KATA

Entah kenapa bila hujan datang

Aku ingin mengeluarkan kata dari kepalaku

Yang merajuk ingin keluar

Melompat menuju kertas untuk menari-nari di atasnya

Kemudian berbaris rapi membentuk makna

puisi keduapuluh satu

HUJAN

Ah hujan....

Kenapa kau datang malam malam

Kemudian berhenti 

dan menyisakan dingin

Karna tak ada tungku penghangat 

Yang ada selimut lama

Yang lembut dipleluk

Tapi tak cukup menghalau dingin yang kau sisakan

puisi keduapuluh dua

NOKTAH

Kujumpai noktah dimana mana

Dalam tulisan

Dalam gambar

Dalam pemandangan nan jauh

Bahkan dalam birunya langit

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun