Mohon tunggu...
Dongeng Kopi
Dongeng Kopi Mohon Tunggu... Berbiji baik, tumbuh baik!

Kedai Kopi yang terintegrasi dengan Taman Baca Alimin, serta Rumah Sangrai yang menghasilkan aneka kopi biji dan bubuk. Ruang paling pas untuk buku, kopi dan komunitas. Hadir di Sasana Krida Dongeng Kopi Roastery, dusun Dalangan, Tirtomartani, 700 meter dari Candi Kedulan, 5 Kilometer dari Candi Prambanan. Ada di Sleman Jogjakarta

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Menjejak Rasa dari Sumbing, Menapak Rasa dari Bardiman

12 Oktober 2025   13:21 Diperbarui: 12 Oktober 2025   13:55 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural di Dongeng Kopi Gorongan 2015. Saat ini Dongeng Kopi berada di Dalangan, Kalasan. Dok. DK

Sebelah timur Sleman, di dusun Dalangan, Tirtomartani, Kalasan, diantara candi candi tegak berdiri, aroma kopi dari lereng Sumbing menembus sore yang lembap. Di balik kepulan asap sangrai, tersimpan kisah tentang tangan-tangan yang bekerja sunyi di gunung dan kesadaran yang tumbuh pelan di kota.

Aroma yang Menguar di Dalangan

Pada petak ukuran delapan kali delapan dapur panggang Sasana Krida Dongeng Kopi Roastery, Ayuri Murakabi menatap jarum suhu yang merangkak pelan, seperti nasib petani di gunung yang naik sedikit demi sedikit selepas kenaikan harga kopi beberapa waktu belakangan. Beberapa detik lagi, biji-biji kopi dari Sumbing mencapai titik sempurna antara matang yang pas atau bablas.
Ia menarik tuas, dan letupan kecil terdengar, mengabarkan bahwa perjalanan panjang biji kopi dari lereng kini berakhir di tungku rendang Kalasan.

"Petani sudah mandi keringat di gunung," katanya perlahan. "Tugas kami memastikan peluh itu tidak menguap begitu saja."

Ayuri bukan cuman peracik rasa. Ia perantara antara tanah dan cangkir, antara kerja keras dan kesadaran.
"Kalau salah sangrai," katanya lagi, "dedikasi hari hari mereka bisa tamat di sini."

Petani dari Lereng yang Tak Pernah Mengeluh

Di kaki Sumbing, Bardiman sudah bangun sebelum ayam berkokok. Kabut masih menempel di daun kopi, dingin seperti sisa doa malam. Ia memeriksa ranting satu per satu, mengusap daun seolah berbicara dengan makhluk hidup yang mudah tersinggung.

"Kopi ini sangat aleman," katanya sambil tersenyum. "Sehari saja tak disiram, rasanya bisa berubah."

Negeri ini punya lebih dari sejuta hektar kebun kopi, tapi hampir semuanya ditanam oleh petani kecil seperti Bardi.
Mereka menanam, memetik, mengeringkan, lalu menunggu tengkulak datang dengan harga yang tak bisa mereka tentukan.

Harga biji basah sempat naik sampai lima belas ribu per kilogram. Tapi setelah disangrai dan dikemas di kota, harganya melonjak menjadi dua ratus lima puluh ribu. Di kedai yang sekarang banyak mendaku sebagai slow bar, secangkirnya bisa dijual tiga puluh lima ribu. Angka-angka itu seperti lelucon yang tak lucu, tapi Bardi tetap tersenyum, mungkin karena hanya itu yang tersisa untuk ia miliki.

Buah Merah dan Doa yang Dikeringkan

Setiap musim panen, keluarga Bardi memetik kopi dengan tangan. Tak ada mesin, tak ada alat rumit. Hanya mata dan kesabaran.
Ia memetik hanya buah yang benar-benar merah. "Kalau warna warni kita ambil cuman yang medan sulit. sebab mustahil kita mengulang lagi. Medannya curam," katanya.

Dalam sehari, ia bisa memetik satu setengah kuintal buah, tapi setelah dikeringkan, tinggal tiga puluh kilogram yang tersisa.
Sisanya lenyap bersama panas matahari, seperti doa yang tak sampai. Ia tak punya jaminan cuaca, tak punya perlindungan harga. Yang ia punya hanyalah kebiasaan dan keyakinan bahwa rezeki tak akan berhenti datang selama ia terus menanam.

Dari Lereng ke Kalasan

Biji-biji kopi kering dari gunung menempuh perjalanan panjang menuju Kalasan. Melewati jalan berdebu, pasar yang riuh, dan kota yang sibuk, hingga akhirnya tiba di tangan Ayuri. Setiap karung diberi nama, asal kebun, dan harga beli. Semua dicatat. Semua diingat. Karena mereka percaya, kopi tanpa ingatan hanyalah air pahit.

"Saya ngopi di sini bukan cuma karena rasanya," kata Fandy Hafish, pelanggan yang sering datang. "Tapi karena saya tahu kopi ini dibeli dengan adil."

Sementara Baihaqi, Bos Putra Rizky Interior yang juga pelanggan kawakan Dongeng Kopi menikmati cangkir yang disaji dengan pandangan lain, "Saya ngopi di Dalangan karena ada kopi Sumbing. Entah kenapa saya cocok sekali dengan kopi dari Pak Bardiman. Gak pernah ganti" ujar lelaki aseli jepara yang kerap dipanggil dengan nama Bebek ini.

Di kedai itu, para penikmat kopi menamai diri mereka Kerepdolan, sekelompok orang yang percaya bahwa ngopi bukan soal gaya, tapi cara menghargai kerja tangan manusia. Himpunan para pelanggan yang merupakan akronim dari Kerukunan Pelanggan Dongeng Kopi lan Kekancan.

Baca: Kerepdolan, kunci Dongeng Kopi bertahan lebih dari satu dekade

Renggo dan Dongeng yang Diseduh

Renggo Darsono, Juru Cerita Dongeng Kopi, punya keyakinan sederhana: setiap cangkir kopi harus punya cerita.
"Kalau kita tahu dari mana kopi kita berasal," katanya, "kita akan meminumnya dengan hati yang lebih tenang. Mangkanya kita punya jargon berbiji baik tumbuh baik!" lanjutnya.

Ia menyebut usahanya dongeng yang diseduh. Bukan karena ingin terdengar puitis, tapi karena ingin membayar utang budi pada para petani yang bekerja dalam sunyi.
"Pastikan cangkirmu," ujarnya, "tidak berkubang air mata petani."

Di Lereng, Malam dan Harapan

Malam turun di Sumbing. Di beranda rumah bambunya, Bardi menyesap kopi hasil panennya sendiri. Asapnya naik ke langit, bercampur kabut. Ia tahu sebagian bijinya kini dinikmati di kota, dalam cangkir-cangkir yang hangat dan percakapan yang ramai.

"Kalau harga adil, kami bisa hidup tenang," katanya.

Bardi tak tahu apa itu teori pembangunan atau istilah besar lain dari kota. Ia hanya tahu, menanam dengan hati, memetik dengan sabar, dan hidup dengan jujur. Mungkin itu saja yang dibutuhkan dunia: kejujuran dari lereng, yang mengalir menjadi kesadaran di cangkir.

Sebab setiap teguk kopi yang kita nikmati, sejatinya adalah kisah manusia yang menanam harapan di tanah, dan menuai rasa di hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun