Ia menyebut usahanya dongeng yang diseduh. Bukan karena ingin terdengar puitis, tapi karena ingin membayar utang budi pada para petani yang bekerja dalam sunyi.
"Pastikan cangkirmu," ujarnya, "tidak berkubang air mata petani."
Di Lereng, Malam dan Harapan
Malam turun di Sumbing. Di beranda rumah bambunya, Bardi menyesap kopi hasil panennya sendiri. Asapnya naik ke langit, bercampur kabut. Ia tahu sebagian bijinya kini dinikmati di kota, dalam cangkir-cangkir yang hangat dan percakapan yang ramai.
"Kalau harga adil, kami bisa hidup tenang," katanya.
Bardi tak tahu apa itu teori pembangunan atau istilah besar lain dari kota. Ia hanya tahu, menanam dengan hati, memetik dengan sabar, dan hidup dengan jujur. Mungkin itu saja yang dibutuhkan dunia: kejujuran dari lereng, yang mengalir menjadi kesadaran di cangkir.
Sebab setiap teguk kopi yang kita nikmati, sejatinya adalah kisah manusia yang menanam harapan di tanah, dan menuai rasa di hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI