Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Pejabat Otoritas Veteriner

Dokter Hewan | Pegiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Delapan Alasan Mengapa Dokter Hewan Layak Diakui Sebagai Tenaga Kesehatan

31 Agustus 2025   08:16 Diperbarui: 1 September 2025   06:02 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu pengakuan profesi dokter hewan sebagai bagian dari tenaga kesehatan kembali mencuat ke ruang publik, terutama pasca munculnya kasus seorang dokter hewan di Magelang yang membantu memberikan terapi suntik sekretom kepada seorang pasien manusia. 

Kasus ini memantik diskusi panjang tentang batas-batas peran dokter hewan, serta apakah pantas dan sesuai aturan jika mereka terlibat dalam praktik pelayanan kesehatan yang bersentuhan dengan manusia.

Namun sebelum buru-buru menarik kesimpulan dan menyudutkan profesi dokter hewan, ada baiknya kita kembali menelaah secara jernih: apakah dokter hewan memang bagian dari tenaga kesehatan? Jika ya, apa dasar logis, akademik, dan administratif yang mendukung hal tersebut?

Menurut penulis, setidaknya ada delapan alasan yang kuat mengapa dokter hewan layak dan selayaknya diakui sebagai tenaga kesehatan, bukan hanya di tataran kampus, tetapi juga dalam praktik, kebijakan, dan pengambilan keputusan lintas sektor.

Pertama, Dokter Hewan Berasal dari Rumpun Ilmu Kesehatan

Secara formal dan struktural, program studi atau fakultas kedokteran hewan berada dalam rumpun ilmu kesehatan. Hal ini setara dengan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi. 

Bahkan dalam sistem klasifikasi ilmu pendidikan tinggi nasional (SNDIKTI), kedokteran hewan masuk dalam kelompok ilmu medis dan kesehatan.

Dengan demikian, sudah sejak masa pendidikan, dokter hewan disiapkan sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, hanya saja fokusnya pada kesehatan hewan. 

Namun ilmu dasar yang dipelajari anatomi, fisiologi, farmakologi, patologi, mikrobiologi, hingga ilmu penyakit infeksius, sangat beririsan dengan ilmu kedokteran manusia. 

Maka tidak mengherankan jika banyak dokter hewan mampu memahami, menginterpretasi, bahkan memberi masukan pada kasus medis manusia, tentu dalam batas-batas tertentu.

Kedua, Ilmu Kedokteran Hewan adalah Ilmu Medis

Banyak orang awam mengira dokter hewan "hanya" belajar tentang binatang. Padahal, kedokteran hewan adalah ilmu kedokteran dalam pengertian penuh. 

Dokter hewan mempelajari hampir semua aspek yang juga diajarkan dalam pendidikan kedokteran manusia, seperti: Ilmu penyakit infeksi (zoonosis dan non-zoonosis), Farmakologi dan terapi (dosis, toksikologi, metabolisme obat), Patologi dan histologi, Anatomi dan fisiologi sistemik, Bedah dan anestesi, Ilmu reproduksi dan obstetri veteriner.

Dengan basis ilmiah yang begitu kuat, tidak berlebihan jika dokter hewan disebut sebagai "dokter yang belajar multi-spesies". 

Bayangkan, jika dokter manusia belajar satu spesies (manusia), maka dokter hewan bisa menangani mulai dari mamalia besar seperti sapi, hingga unggas, reptil, bahkan hewan eksotik. Hal ini menuntut fleksibilitas dan pemahaman medis yang mendalam.

Ketiga, Dokter Hewan Berperan dalam Kesehatan Masyarakat

Konsep One Health, yang semakin populer secara global, menekankan bahwa kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Dalam konteks ini, dokter hewan memainkan peran vital, Mendeteksi dan mencegah penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia), seperti rabies, leptospirosis, antraks, avian influenza, dan lainnya.

Kemudian dokter hewan juga Memastikan keamanan pangan asal hewan, dari peternakan hingga meja makan (farm to table). Mengawasi penggunaan antibiotik dan resistensi antimikroba (AMR) pada hewan ternak, yang dampaknya sangat besar terhadap kesehatan manusia.

Peran-peran ini adalah pilar dalam sistem kesehatan publik. Maka mengabaikan atau menyingkirkan dokter hewan dari ranah kesehatan adalah bentuk diskoneksi kebijakan yang tidak rasional dan kontraproduktif.

Keempat, Di Negara Maju, Dokter Hewan Bagian dari Integrasi Kesehatan

Di berbagai negara maju, dokter hewan diintegrasikan dalam sistem kesehatan nasional. Misalnya: Amerika Serikat, CDC (Centers for Disease Control and Prevention) mempekerjakan banyak dokter hewan untuk menangani zoonosis dan penyakit infeksi.

Kemudian, Kanada dan Australia, dokter hewan menjadi bagian dari tim nasional untuk pengendalian wabah zoonosis dan resistensi antimikroba. 

Inggris dan Uni Eropa, kedokteran hewan menjadi mitra sejajar dalam sistem One Health.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa secara global, peran dokter hewan tidak lagi hanya "mengobati hewan", tetapi menjadi bagian integral dari kebijakan kesehatan publik dan nasional.

Ilustrasi Kampanye Dokter Hewan (Sumber Gambar: Dokumentasi Ditjen PKH, Kementan)
Ilustrasi Kampanye Dokter Hewan (Sumber Gambar: Dokumentasi Ditjen PKH, Kementan)

Kelima, CPNS Dokter Hewan Diterima di Kementerian Kesehatan

Argumen administratif yang sering dilupakan adalah fakta bahwa Kementerian Kesehatan Indonesia sendiri membuka formasi CPNS untuk lulusan dokter hewan. Ini artinya, secara struktural, negara mengakui bahwa dokter hewan bisa dan layak bekerja dalam sistem kesehatan nasional.

Formasi ini biasanya dibuka untuk posisi: Pengawas mutu pangan hewani, Analis risiko zoonosis, Peneliti kesehatan masyarakat veteriner dan peran-peran lintas sektor lainnya

Jika negara saja mengakui peran dokter hewan di Kemenkes, mengapa masih ada pihak-pihak yang keberatan mengakui dokter hewan sebagai tenaga kesehatan?

Keenam, Ego Sektoral Merugikan Masyarakat

Kasus terapi sekretom di Magelang adalah ilustrasi menarik. Meskipun kontroversial, kasus tersebut menyiratkan satu hal: masyarakat membutuhkan pertolongan. Ketika akses terhadap layanan medis terbatas, kadang dokter hewan menjadi alternatif, bukan karena menginginkan praktik ilegal, tetapi karena keahlian medis mereka memang memungkinkan membantu dalam kondisi tertentu.

Daripada sibuk saling menyalahkan, lebih baik kita memperkuat regulasi dan kolaborasi lintas sektor. Ego sektoral tidak hanya merugikan tenaga profesional, tetapi juga masyarakat luas. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terintegrasi, pendekatan silo sudah tidak relevan. Sehingga bukan tidak mungkin, kelak ada dokter hewan lain dengan kasus yang sama dikemudian hari.

Ketujuh, Banyak Dokter Hewan Menjadi Peneliti dan Akademisi Kesehatan

Jangan lupa bahwa banyak dokter hewan yang bekerja sebagai Dosen dan peneliti di fakultas kesehatan masyarakat, Kepala laboratorium mikrobiologi, virologi, atau biomedis, Kontributor jurnal kesehatan dan medis internasional.

Kontribusi dokter hewan terhadap ilmu kedokteran sangat besar, terutama dalam pengembangan vaksin, teknologi imunologi, dan surveilans penyakit infeksius. Peran ini tak mungkin dijalankan oleh orang yang bukan tenaga kesehatan.

Kedelapan, Hukum Harus Berpijak pada Ilmu Pengetahuan.

Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum atau opini publik menilai tindakan dokter hewan secara sempit hanya dari sisi legal formal, bukan dari substansi ilmiah. 

Padahal, hukum yang ideal adalah hukum yang berpijak pada ilmu pengetahuan, bukan sekadar tumpukan pasal-pasal.

Jika seorang dokter hewan melakukan tindakan medis sederhana yang tidak melampaui batas kompetensi dan dilakukan karena kebutuhan mendesak, maka semestinya itu bisa dilihat sebagai niat baik untuk menolong, bukan sebagai pelanggaran pidana. Tentu harus tetap ada pengawasan dan regulasi, namun bukan dengan pendekatan represif, melainkan edukatif.

Penutup: Saatnya Menerima Realitas Profesi Multidimensi

Kita hidup di era interdisipliner. Profesi medis tak lagi berdiri sendiri. Dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, ahli gizi, hingga dokter hewan, semuanya adalah bagian dari ekosistem kesehatan yang saling membutuhkan. Mengotak-ngotakkan peran hanya akan melemahkan sistem.

Pengakuan terhadap dokter hewan sebagai tenaga kesehatan bukan berarti mereka akan menggantikan dokter manusia. Tidak. Tapi artinya, kita mengakui bahwa dokter hewan memiliki kompetensi medis dan peran yang tak tergantikan dalam menjaga kesehatan masyarakat secara holistik.

Sudah saatnya kita hentikan ego sektoral dan buka ruang kolaborasi. Baik dalam kebijakan, sistem pendidikan, pelayanan masyarakat, hingga dalam regulasi hukum. Semoga bermanfaat!

Catatan: Opini ini hanya opini pribadi dan tidak mewakili institusi manapun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun