Mereka tidak sampai ke panggung dunia,
tapi bukankah langit juga tetap menyala,
meski bintang tak semua tampak malam itu?
Di balik sorak yang memudar,
ada degup yang tak terdengar—
ritme yang hanya dimengerti oleh tanah air
yang mereka bela dengan seluruh napasnya.
Ada air mata yang jatuh tanpa kamera,
ada doa yang terselip di antara teriakan suporter,
ada janji dalam dada mereka—
bahwa perjuangan tak berhenti di peluit terakhir.
Mereka berlari bukan hanya mengejar bola,
tapi juga sepotong mimpi
yang tumbuh dari lumpur masa kecil,
dari lapangan rumput di ujung kampung,
dari ibu yang menatap layar
dengan doa tanpa suara.
Mereka sudah memberi segalanya:
kaki yang berlari sampai gemetar,
napas yang tersisa hanya untuk menahan kecewa,
dan harapan yang tak pernah benar-benar padam.
Kekalahan hanyalah kabut pagi—
akan sirna saat matahari tekad
naik kembali di dada mereka.
Kita sedih, ya,
tapi di balik sedih itu
ada sesuatu yang lebih besar:
rasa hormat.
Kita mungkin tak melihat segalanya,
tapi mereka telah menulis perjuangan itu
di halaman-halaman tak terlihat,
dengan tinta keringat dan keyakinan.
Biarlah malam ini kita tepuk tangan,
bukan untuk kemenangan yang tak datang,
melainkan untuk keberanian yang tak hilang,
untuk jiwa yang tetap menyalakan cahaya
Karena mereka—
dan kita—
masih mencintai Indonesia
dengan cara yang sama:
sepenuh hati,
meski kadang mimpi harus tertunda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI