Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tone Deaf, Ketika Empati Gagal Bekerja di Ruang Publik

24 September 2025   08:38 Diperbarui: 24 September 2025   08:38 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
CAPTION:Ketika telinga lengkap, tetapi hati absen, percakapan hanya jadi gema tanpa makna. (Foto: Vitaly Gariev/Unsplash)

Ada telinga yang lengkap, tetapi tak pernah benar-benar mendengar.
Ada suara yang nyaring, tetapi gagal menyentuh jiwa.
Dari sini kita mengenal sebuah istilah: tone deaf.

Awalnya ia lahir dari dunia musik: tentang nada yang tak pernah tepat.
Namun, di kehidupan nyata, tone deaf bisa menjelma sikap:
ketika hati tumpul, empati kehilangan arah,
dan manusia hanya bicara tanpa benar-benar menangkap yang tersirat.

Dalam keseharian, tone deaf tak lagi hanya soal nada.
Ia menjadi cermin ketidakpekaan ketika seseorang gagal membaca situasi.

Ada yang bercanda saat orang lain masih basah air mata.
Ada yang sibuk memamerkan pencapaian ketika teman sedang jatuh dalam kehilangan.
Ada pula yang berbicara panjang lebar, padahal yang dibutuhkan hanya satu: kesediaan untuk diam mendengar.

Istilah ini lalu melekat pada mereka yang tidak peka,
bukan karena telinga rusak, melainkan karena hati enggan menajamkan rasa.

Sejatinya, mendengar bukan sekadar menangkap bunyi.
Ia adalah seni menangkap getar di balik kata.

Tak jarang kita melihat contohnya di ruang publik.
Seorang pejabat yang berbicara tentang pertumbuhan ekonomi,
padahal rakyat sedang berjuang menambal kebutuhan sehari-hari.
Atau figur publik yang sibuk memamerkan liburan mewah,
di tengah kabar banyak orang kehilangan pekerjaan.

Bukan semata soal salah ucap,
tetapi tentang jarak rasa yang makin lebar,
tentang kepekaan yang absen,
tentang gagal membaca ruang dan rasa.

Di titik itu, istilah tone deaf menemukan pijakan barunya:
sebagai peringatan bahwa kata-kata tanpa empati hanya meninggalkan gema kosong.

Namun, sebelum jari menunjuk ke luar,
ada baiknya kita bercermin.
Mungkin kita pun pernah absen dari rasa.

Saat sahabat hanya ingin dipeluk,
kita sibuk memberi nasihat panjang.
Saat keluarga bercerita dengan air mata,
telinga kita tertutup oleh layar gawai.

Mungkin tanpa sadar, kita pernah absen dari rasa.
Lengkap dengan telinga,
tetapi hampa dari mendengar.

Kadang, tone deaf hadir bahkan dalam pilihan kata.
Kita menyebut "tunarungu" seakan lebih sopan,
padahal banyak saudara kita lebih suka disebut "Tuli".
Sebuah identitas yang mereka peluk dengan bangga.

Di situlah empati diuji:
berani mendengar bukan hanya bunyi,
tetapi juga cara orang ingin dipahami.

Agar dunia tak dipenuhi gema kosong,
kita perlu belajar mendengar dengan hati.
Mendengar bukan hanya soal menangkap bunyi,
tetapi memberi ruang bagi rasa yang tak terucap.

Mari jadikan tone deaf bukan sekadar label,
melainkan pengingat:
bahwa di balik setiap kata ada jiwa,
dan di balik setiap jiwa ada harapan untuk dipahami.

Empati adalah nada sejati,
yang membuat hidup terasa lebih selaras.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun