Saat sahabat hanya ingin dipeluk,
kita sibuk memberi nasihat panjang.
Saat keluarga bercerita dengan air mata,
telinga kita tertutup oleh layar gawai.
Mungkin tanpa sadar, kita pernah absen dari rasa.
Lengkap dengan telinga,
tetapi hampa dari mendengar.
Kadang, tone deaf hadir bahkan dalam pilihan kata.
Kita menyebut "tunarungu" seakan lebih sopan,
padahal banyak saudara kita lebih suka disebut "Tuli".
Sebuah identitas yang mereka peluk dengan bangga.
Di situlah empati diuji:
berani mendengar bukan hanya bunyi,
tetapi juga cara orang ingin dipahami.
Agar dunia tak dipenuhi gema kosong,
kita perlu belajar mendengar dengan hati.
Mendengar bukan hanya soal menangkap bunyi,
tetapi memberi ruang bagi rasa yang tak terucap.
Mari jadikan tone deaf bukan sekadar label,
melainkan pengingat:
bahwa di balik setiap kata ada jiwa,
dan di balik setiap jiwa ada harapan untuk dipahami.
Empati adalah nada sejati,
yang membuat hidup terasa lebih selaras.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI