Warung gorengan di pojok gang itu selalu jadi tempat persinggahan kami tiap sore. Meja kayu sudah goyah, cat dindingnya mengelupas, tapi entah kenapa rasanya lebih nyaman dibanding kafe mana pun.
Mungkin karena di sini, kami nggak perlu sok keren, cukup jadi diri sendiri. Aku dan Nara emang bersahabat sejak SD, jadi dia tahu cerita lama gue—hal-hal yang nggak semua orang tahu.
Di sini kami bisa bercanda receh, bisa juga tiba-tiba nyemplung ke obrolan serius. Kadang rasanya tidak seperti dua orang dewasa yang mampir beli camilan, tapi dua bocah kecil yang masih nyari tempat aman buat istirahat sebentar.
"Eh, Dit, lo sadar nggak sih gorengan di sini makin lama makin tipis isinya?"
Nara ngomel sambil ngeretakin tahu isi yang kelihatan lebih banyak anginnya ketimbang wortel dan kol.
Aku ketawa. "Halah, lo aja yang makin rakus. Lagian harga minyak naik, Bro. Jangan salahin tukang gorengan."
"Yaelah, kalo gitu namanya gorengan plus subsidi perasaan pembeli,"
Nara nyengir, lalu nyedot es teh manisnya. "Tapi tetep aja, dulu gue inget banget tempenya tebel, sampe harus gigit dua kali. Sekarang sekali hap, udah hilang."
Aku pura-pura mikir serius. "Itu tanda kita udah tua, Ra. Dulu semua keliatan gede, sekarang malah menyusut—termasuk isi dompet."
Kami sama-sama ketawa. Obrolan receh kayak gini biasanya jadi pengantar sebelum masuk ke hal-hal yang entah kenapa malah terasa berat. Aku tahu kebiasaan Nara. Dia nggak pernah langsung to the point.
"Lo pernah mikir nggak, Dit?"
Nara tiba-tiba berubah nada. Tangannya sibuk ngetok botol mineral kosong kayak drummer cadangan band kampus. Aroma serius mulai tercium, nih.
"Mikir apa? Jangan bilang teori konspirasi baru lo lagi," jawabku sambil menatap tempe mendoan yang baru diangkat, minyaknya masih menetes. Tercium wangi tempe hangat yang bercampur dengan asap knalpot dari jalan.
Nara menatap kosong ke jalanan.
Kayaknya kita tuh nggak pernah beneran jadi orang dewasa. Kita cuma anak kecil yang nyamar. Pake baju kantor, bawa laptop, nulis laporan. Tapi dalemnya ... bocah."
Ia berhenti sebentar, bibirnya menekuk tipis. Suara minyak di penggorengan meletup pelan, seolah ikut mengisi jeda.
"Kayak tadi siang pas rapat. Semua orang bahas strategi bisnis, tapi gue malah mikir: 'Ngapain sih gue sok paham?' Yang gue pengen sebenernya cuma main PS kayak dulu."
Aku ngakak. "Halah, lo kebanyakan nonton anime kali. Bocah nyamar jadi ninja."
"Serius, Dit. Gue ngerasainnya gitu. Lo inget kan, dulu lo sering ditinggal emak bapak kerja? Sampe sekarang, tiap orang tiba-tiba ngilang, lo langsung panik."
Nara menoleh sekilas sambil senyum.
"Kayak pas gebetan lo nggak bales WA dua jam, lo kayak mau gila. Gue sampai bingung, padahal cuma WA, tapi reaksi lo segitunya."
Tawa yang tadi lepas, seketika menguap. Gorengan di tangan mendadak hambar. Aku menatap Nara, kaget karena ternyata ia nyentuh bagian yang jarang aku buka ke siapa pun.
"Dan gue sendiri," lanjutnya, kali ini pelan, "gue tuh dulu sering dimarahin gara-gara salah kecil. Tumpahin teh aja bisa bikin rumah kayak medan perang."
Nara menjeda kalimatnya, tangannya bergerak mengaduk teh, tapi matanya menatap jauh.
"Makanya sekarang gue gampang insecure, takut salah ngomong, takut dianggap bego. Kadang, di rapat gue cuma diam karena takut kata-kata gue nggak pas."
Aku diam, menatap sisa minyak di kertas cokelat. Motor-motor lalu lalang, suara knalpot berisik, tapi rasanya dunia sejenak menahan napas.
"Jadi sebenernya," aku akhirnya bersuara, "kita tuh bukan sekadar sahabatan. Kita kayak ... dua bocah kecil yang nyari tempat aman buat nangis tanpa diketawain."
Nara nyengir, tapi matanya nggak bisa bohong.
"Inner child kita akhirnya main bareng, numpang istirahat di warung gorengan."
Aku senyum tipis. "Lucu ya. Kita kira udah dewasa. Punya gaji, punya cicilan, punya rencana traveling. Tapi ternyata, kita masih sibuk ngasuh anak kecil dalam diri sendiri. Anak kecil yang dulu nggak pernah cukup dipeluk."
Nara mengangguk. "Pantes kita gampang ribut sama orang lain, padahal masalahnya receh. Sering kali, yang marah itu bukan kita yang sekarang, tapi bocah kecil yang dulu nggak pernah didengerin."
Aku tertawa kecil, kali ini getir. "Kayak waktu gue kesel banget gara-gara lo telat dateng setengah jam. Gue bilangnya soal disiplin, padahal sebenernya gue takut ditinggalin, kayak dulu."
"Persis," kata Nara. "Gue juga sering bete kalo orang nggak apresiasi kerjaan gue. Padahal bos gue nggak salah apa-apa, cuma ... gue kebayang bokap gue yang selalu bilang gue nggak pernah cukup bagus."
Kami terdiam, lalu tertawa hambar—bukan karena lucu, tapi karena sadar bocah dalam diri masih sering pegang kemudi hidup.
Nara mengangkat botol mineralnya, menirukan gaya toast ala film. "Cheers buat dua bocah yang lupa tumbuh."
Aku ikut-ikutan, mengangkat gorengan yang sudah dingin. "Cheers. Semoga bocah dalam diri kita akhirnya ngerasa pulang."
Hujan rintik-rintik turun tiba-tiba, membasahi jalanan depan warung. Penjual buru-buru menutup tirai plastik, suara hujan beradu dengan aroma gorengan hangat. Kami terdiam sejenak, menatap derasnya air.
Aku menoleh ke Nara. "Lo sadar nggak, Ra? Mungkin tujuan kita bukan jadi orang dewasa yang sempurna. Tapi jadi orang yang cukup sabar nemenin bocah kecil di dalam diri sendiri."
Nara menghela napas panjang. "Dan kalau beruntung, kita bisa juga nemenin bocah kecil dalam diri orang lain."
Aku mengangguk, merasakan sebuah ketenangan kecil di dada.
Mungkin, menyadari dan menerima bocah di dalam diri adalah langkah pertama menuju rasa pulih dan utuh—perjalanan kecil menuju berdamai dengan diri sendiri.
Di luar sana, hujan makin deras. Namun, di dalam warung sederhana itu, dua anak kecil yang nyasar di tubuh dewasa akhirnya dapat tempat berteduh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI