"Dulu, uang sepuluh ribu bisa buat jajan bakso sekaligus es teh. Sekarang, baru ambil semangkuk, dompet sudah tipis."
Kalimat seperti itu mungkin sering kita dengar. Setiap tahun, harga kebutuhan sehari-hari naik sedikit demi sedikit. Cabai merah, beras, ongkos transportasi, bahkan jajanan anak sekolah ikut-ikutan merangkak. Fenomena ini disebut inflasi.
Inflasi adalah sesuatu yang wajar terjadi di setiap negara, termasuk Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, Agustus 2025), inflasi tahunan Indonesia melandai sedikit menjadi 2,31%, turun dari 2,37% pada Juli 2025.
Angkanya terlihat kecil, tetapi dampaknya nyata bagi masyarakat: uang yang sama nilainya hari ini, besok bisa terasa lebih kecil daya belinya.
Kalau dulu Rp100 ribu cukup untuk belanja sepekan, sekarang mungkin hanya bertahan beberapa hari. Pertanyaannya, bagaimana cara kita melindungi nilai uang agar tidak "tenggelam" dalam arus inflasi?
Salah satu jawabannya ada pada emas.
Emas, Perisai Nilai dari Masa ke Masa
Sejak ratusan tahun lalu, emas sudah dipercaya sebagai penyimpan nilai (store of value). Berbeda dengan uang kertas yang nilainya bisa tergerus inflasi, emas cenderung stabil dan bahkan meningkat dari waktu ke waktu.
Tak heran, emas sering disebut sebagai safe haven asset atau aset pelindung ketika kondisi ekonomi tidak menentu.
Sebagai contoh, harga emas pada tahun 2013 masih berkisar Rp480 ribu per gram. Sepuluh tahun kemudian, harganya menembus lebih dari Rp1 juta per gram. Bahkan, pada pertengahan September 2025 ini, harga emas Antam mencetak rekor baru menembus Rp2,105 juta per gram.
Artinya, emas bukan hanya menjaga daya beli, tetapi juga memberi nilai tambah dalam jangka panjang. Bandingkan dengan uang Rp1 juta yang hanya disimpan di dompet atau rekening biasa: nilainya tetap Rp1 juta, tetapi kemampuan belinya berkurang karena harga kebutuhan naik.
Di sinilah emas memberi perbedaan: ia menjaga agar daya beli kita tidak habis ditelan inflasi.