"Waspada Provokasi!"
Kalimat itu kembali menggema setiap kali rakyat turun ke jalan menyuarakan keresahan mereka. Sejarah terlalu sering membuktikan: ketika suara tulus masyarakat bergema, selalu ada tangan-tangan lain yang mencoba menyusup, mengaburkan makna perjuangan.Â
Ada yang mendorong isu etnis dan agama untuk memecah belah, ada yang menyulut kerusuhan agar gerakan dicap kriminal, atau sekadar melontarkan disinformasi di media sosial untuk memancing emosi.
Demo adalah bagian sah dari demokrasi, ruang di mana rakyat mengingatkan wakilnya bahwa mandat tidak boleh dipermainkan.Â
Namun, bila provokasi dibiarkan, ia akan menjerumuskan kita ke jurang anarki—dan ketika itu terjadi, yang paling rugi adalah rakyat sendiri.
Luka yang Bernama Tunjangan
Yang membuat luka rakyat kian dalam adalah kabar tentang berbagai tunjangan dan fasilitas pejabat, khususnya DPR, yang nilainya mencengangkan.
Di atas gaji pokok yang sudah tinggi, mereka masih menerima aneka tunjangan rumah, kendaraan, komunikasi, hingga wacana tambahan insentif lain. Semua itu terdengar janggal, bahkan menyakitkan, bila dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari rakyat.
- Petani yang sulit menjual hasil panen dengan harga layak.
- Buruh yang upahnya pas-pasan dan tidak cukup untuk biaya sekolah anak.
- Keluarga miskin yang harus menimbang ulang biaya makan, transportasi, bahkan berobat ke puskesmas.
Kontras inilah yang membuat rakyat memilih turun ke jalan. Bagi mereka, tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah anggaran, melainkan simbol ketidakadilan.
Wakil rakyat seakan hidup di dunia berbeda dari rakyat yang diwakili.
Ketika Ruang Dialog Mati, Jalanan Menjadi Solusi
Demonstrasi lahir ketika ruang formal tidak lagi memberi harapan. Jalanan menjadi alternatif, tempat suara-suara yang terabaikan mencari gema.
Pada hakikatnya, demo adalah koreksi sosial—cara rakyat mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa.
Sayangnya, alih-alih merespons dengan empati, suara rakyat sering ditutup dengan retorika politik. Akibatnya, demo semakin marak, dan rasa percaya publik pada DPR kian menipis.
Provokasi, Senjata Pembungkam Suara Jujur Rakyat
Namun, kita tidak boleh menutup mata pada ancaman lain: provokasi. Hampir setiap demo rakyat menghadapi risiko serupa.
- Penyusupan massa yang mendorong kerusuhan agar gerakan terlihat anarkis.
- Isu SARA yang dimainkan untuk memecah belah solidaritas.
- Ajakan merusak fasilitas atau menjarah sering sengaja diselipkan, agar aksi rakyat dipersepsikan sebagai tindakan kriminal dan memberi pembenaran bagi aparat untuk bertindak keras.
- Disinformasi di media sosial yang menyesatkan opini publik.
Ketika rakyat terjebak provokasi, fokus perjuangan menjadi kabur. Alih-alih membicarakan inti persoalan—tunjangan yang tidak masuk akal dan ketidakadilan yang nyata—narasi publik justru bergeser ke kerusuhan. Pada akhirnya, rakyat sendiri yang kehilangan suara.
Strategi Demo Tanpa Anarki
Di sinilah pentingnya menjaga demo agar tetap fokus dan beradab. Tuntutan rakyat jelas: keadilan sosial harus dikembalikan, DPR harus berhenti hidup dalam kemewahan yang membutakan.
Untuk itu, beberapa langkah penting perlu dilakukan:
- Rakyat menjaga solidaritas dan tidak memberi ruang bagi provokator.
- Kontrol emosi kolektif, dengan memastikan amarah tidak diarahkan ke sesama warga.
- Aksi tetap fokus pada isu substansi, bukan sekadar kemarahan sesaat.
- Bangun ruang dialog rakyat-DPR yang nyata, bukan sekadar formalitas seremonial.
- Reformasi kebijakan anggaran, agar fasilitas mewah dipangkas dan dialihkan ke kebutuhan rakyat yang jauh lebih mendesak.
Rakyat Bukan Musuh Negara
Demo tanpa anarki adalah bukti kedewasaan rakyat dalam berdemokrasi. Ia menunjukkan bahwa rakyat mampu marah dengan tertib, kecewa dengan bermartabat, dan menuntut dengan kesadaran penuh.
Pada titik inilah terlihat kekuatan sejati sebuah bangsa: rakyat yang tidak berhenti bersuara, tetapi juga tidak kehilangan akal sehat.
Rakyat bukan musuh negara.
Rakyat hanya ingin diwakili dengan adil, didengar dengan sungguh-sungguh, dan diperlakukan sebagai pemilik sah negeri ini.
Rakyat adalah mitra kritis yang ingin bangsa ini berdiri lebih adil dan bermartabat.
Perubahan memang tidak pernah datang dengan mudah. Namun, bila suara rakyat tetap dijaga dari provokasi, pesan yang sampai ke telinga penguasa akan jauh lebih jelas—dan tidak bisa lagi diabaikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI